MUDA MAHENDRAWAN, SH
“Proses Perencanaan dan Penatausahaan Birokrasi Pemkab dalam Penyaluran Alokasi Dana ke Desa-Desa baik dari APBN (3 tahap) dan APBD (2 tahap) mesti menjamin ketepatan waktu dan kelancaran pencairannya agar menghindari keterlambatan pelaksanaan program kegiatan fisik dan non fisik atau minimnya daya serap anggaran dan realisasi kegiatan dari APBDesa, berakibat peluang mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar yang mendesak untuk perbaikan kualitas hidup di desa-desa jadi terkendala, bahkan berpotensi jadi celah penyimpangan dalam pelaksanaannya”
UU Desa no 6
Tahun 2014 berikut PP 43 dan PP 60 Tahun 2014 sebagai pengaturan
pelaksanaannya, telah membawa konsekuensi akan mengalirnya anggaran dana ke desa
dari pusat (APBN) yang pehitungannya disesuaikan dengan indeks jumlah penduduk,
luas wilayah, rata-rata tingkat kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis
(akses infrastruktur, sarana prasarana, jangkauan wilayah), mekanisme dana itu akan
ditransfer dulu ke rekening kas daerah (pemkab) baru setelah itu akan
disalurkan ke rekening kas desa-desa jika APBDesa telah ditetapkan dan
dievaluasi oleh Pemkab (Bupati melalui Badan Pemdes), pengucuran tidak
sekaligus tapi 3 tahap yakni tahap kesatu pada minggu ke II April 40% , tahap
kedua pada minggu kedua Agustus 40%, dan tahap ketiga pada minggu kedua
November 20%. Ini baru yang bersumber dari pusat, sedangkan yang dari APBD yakni
ADD yang konkritnya hampir 7 tahun ini telah dianggarkan ke desa-desa (melalui
PP 72/2005 tg ADD) tetap wajib
dianggarkan dan disalurkan oleh Pemkab sesuai jumlah yang ditentukan dalam
Peraturan Bupati ttg penetapan besaran ADD tiap desa seperti selama ini
(rata-rata 100 juta sampai 250 juta per desa) tiap tahun. Ini masih ditambah
lagi dengan pendapatan dari Bagian dari Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah
yang juga wajib ditetapkan Bupati melalui Perbup dan sumber dari Pendapatan
Asli Desa (PADes) sendiri. Inilah 4 komponen sumber keuangan yang pasti akan
masuk ke desa mulai tahun depan (2015) sesuai perintah dan amanat UU Desa dan
PP nya. Sedangkan sumber dari bantuan keuangan pempus, pemprov,pemkab, dan
sumber hibah tidak mengikat dari pihak lainnya bersifat tidak mutlak (belum
pasti dialokasikan). Berarti setidaknya proses penyaluran alokasi anggaran dari
pemkab ke rekening kas desa dalam setahun anggaran minimal dilakukan dalam 5 kali tahap pencairan yakni dari APBN 3 kali tahap pencairan
dan dari ADD 2 tahap. Kondisi ini tentu membutuhkan komitmen kinerja
pemkab lebih serius dan fokus untuk menjamin proses penyaluran dana ke rekening
kas desa-desa pada tiap tahapan tidak mengalami kendala teknis dan
keterlambatan terlalu jauh.
Seperti telah ditegaskan
di tulisan sebelumnya, Implementasi UU Desa dengan seluruh agenda yang mesti
berjalan tak semata hanya menuntut kesiapan dari Aparatur Desa (Kades, BPD,
perangkat desa) saja baik kompetensi, ketrampilan, pemahaman persepsi yang
tepat, namun juga sangat penting
menuntut kesiapan dari Aparatur Birokrasi di Pemkab, terutama birokrasi
di Badan Pemdes, para Camat dan staf kecamatan, SKPD di Sekretariat Daerah (Asisten
I dan Kabag Hukum), Dinas Pendapatan dan Keuangan, Inspektorat, termasuk
Bappeda. Mengapa demikian ?
Informasi KUA-PPAS ke Desa-desa (pra RAPB
Desa)
Karena dimulai
dari alur proses Perencanaan pembangunan dimana Desa-Desa sudah harus
mendapatkan informasi dari Pemkab melalui Bappeda atas dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Penetapan
Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tahun berikutnya paling lama 10 hari
setelah disetujui bersama oleh Bupati dan DPRD. Pertama, karena dalam
KUA-PPAS itu akan bisa terlihat dan tergambar jumlah besaran indikatif dari ADD
dan BHP-RD meskipun baru angka pagu
indikatif namun setidaknya desa-desa mengetahui besarannya (tetap atau
bertambah) sehingga desa bisa masukkan ancer-ancer angka pagu indikatif di pos
komponen pendapatan dari ADD dan BHP-RD diluar dari Dana Anggaran Desa yang
dari APBN (pusat). Kedua, melalui KUA-PPAS itu desa-desa baru bisa menyusun
Rancangan APBDesa masing-masing karena akan terlihat jelas Program dan Kegiatan
dari seluruh Dinas (SKPD) di Pemkab baik Fisik dan Non Fisik, terutama
insfrastruktur dasar sehingga bisa diketahui Program dan Kegiatan apa saja yang
akan masuk melalui APBD Kabupaten ke tiap desa agar menghindari duplikasi atau
tumpang tindih anggaran dan kewenangan yang menjadi celah potensi penyimpangan
bahkan celah dan peluang manipulasi kegiatan di lapangan. Jika dokumen KUA-PPAS telah diterima Pemerintah Desa bisa menyusun
rancangan program dan kegiatan sesuai RPJMDesa dan RKPDesa yang tidak
dianggarkan di APBD kabupaten namun dalam kategori yang menjadi Kewenangan Desa (kewenangan berdasarkan asal usul dan
kewenangan berskala lokal desa) sesuai Perbup Daftar Kewenangan Desa yang
harus disusun bersama dan diterbitkan oleh
pemkab dengan terlebih dulu mengagendakan penyusunan daftar kewenangan desa
bersama-sama seluruh kepala desa dan ketua BPD sebagaimana tulisan Seri
Pencerahan Desa bagian 1 yang lalu . Jadi KUA-PPAS menjadi bahan penting dan
mendasar untuk pijakan desa bisa menyusun rancangan APBDesa. Sedangkan Dalam PP
43 Tahun 2014 pasal 101 telah ditegaskan bahwa Rancangan Perdes APBDesa telah
disepakati Kades bersama BPD paling lambat akhir Oktober tahun berjalan,
ketentuan ini bermaksud memberikan waktu yang cukup (sekitar 2 bulan) bagi
pemerintah desa untuk antisipasi agar penetapan APBDesa tidak sampai melampaui
batas waktu 31 Desember (terlambat).
Di sisi lain
berkaca pada perjalanan otonomi daerah selama ini, di banyak kabupaten agenda pembahasan dan
kesepakatan KUA-PPAS tahun anggaran berikutnya oleh Pemkab bersama DPRD seringkali mengalami keterlambatan dari jadwal
sesuai ketentuan. Kalau sekarang terkait
dengan Implementasi UU Desa berarti dokumen KUA-PPAS untuk RAPBD Tahun 2015 harus
telah disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten (melalui Bappeda ke para camat) ke
seluruh Pemerintah Desa, agar Kades dan BPD bisa segera menyiapkan Rancangan
APBDesa dengan terlebih dahulu melaksanakan Musyawarah untuk Revisi RPJMDesa
dan dilanjutkan agenda penyusunan RKPDesa, sehingga waktu yang tersisa tinggal
2 bulan ke depan Perdes APBDesa 2015 bisa dikejar untuk ditetapkan sebelum
batas akhir 31 Desember tahun ini. Jadi jika APBDesa ke depan terlambat
ditetapkan tentu akan berpengaruh langsung pada proses penyaluran alokasi dana
ke desa-desa karena akan dilanjutkan proses teknis penatausahaan di internal
birokrasi (evaluasi dan verifikasi) sebelum bisa disalurkan.
Perbaiki SOP dan Komitmen Kinerja Lebih
Fokus Efektif
Untuk itulah Pemkab
disini juga dituntut mesti menyiapkan untuk menjalankan kinerja pelayanan lebih
optimal terutama terkait dengan proses penyaluran uang dana desa ke rekening
kas desa baik sumber dari APBN Pusat dan dari ADD. Mengingat pengalaman empiris
penyaluran ADD saja selama ini seringkali juga koreksi, evaluasi dan penelaahan dan verivikasi tak jarang terjadi perbedaan persepsi antara
Dinas/SKPD terkait di internasl birokrasi (antara Badan Pemdes, Sekretariat Daerah,
Keuangan) bahkan tak jarang Peraturan Bupati dan Surat Keputusan yang harus
diterbitkan sebagai dasar payung hukum
untuk proses pencairan ADD terlambat karena harus memakan waktu cukup lama dan
lambat dari meja ke meja apalagi kalau sampai berkasnya bolak balik yang
terkadang justru bukan pada soal substansi nya melainkan hanya soal tata naskah
dan titik koma (seputar problem remeh temeh) akibat penyakit klasik birokrasi
yang masih berkutat pada pendekatan arogansi dan sikap ego antar Dinas/SKPD
satu sama lain. Kelancaran proses penyaluran dana desa ini menjadi penting
karena menghindari keterlambatan dalam
proses realisasi/penggunaan dalam pelaksanaan program kegiatan yang telah dianggarkan
dalam kebijakan APBDesa, apalagi dengan kewenangan desa mengelola anggaran
cukup besar, secara otomatis jumlah dan jenis program kegiatan akan semakin
banyak item belanja langsung maupun tak langsung yang harus direalisasikan dan
dipertanggungjawabkan oleh aparat pemerintah desa, sehingga akan langsung
berdampak daya serap anggaran yang minim dan lambat sementara untuk proses
pencairan tahap ke 2 misalnya umumnya disyaratkan daya serap/realisasi dari
anggaran yang telah dicairkan pada tahap 1 setidaknya harus 90% nya telah
terealisasi, jika pada tahap 1 penyaluran nya ke rekening desa telah terlambat cukup
lama dikhawatirkan akan menjadi kendala untuk proses pencairan tahap berikutnya
(tahap 2 dan 3) yang akhirnya cukup besar anggaran yang tidak bisa
direalisasikan/diserap yang juga menyebabkan jumlah SILPA (sisa lebih
perhitungan anggaran) yang besar dan tidak wajar, meski SILPA bisa digunakan
untuk kegiatan tertunda di tahun anggaran berikutnya namun peluang untuk
mempercepat perbaikan kualitas hidup warga jadi terhambat, sementara banyak
kebutuhan dasar masyarakat sangat mendesak yang mestinya bisa direalisasikan
jadi tertunda. Kondisi ini tak jarang juga bisa menimbulkan kondisi kurang
kondusif di desa, sebab ketika APBDesa sudah ditetapkan melalui Kades bersama
BPD maka warga desa tentu sangat berharap bisa direalisasikan terkait dengan
belanja pembangunan/masyarakat baik fisik dan non fisik, perlu dimaklumi warga desa umumnya kurang memahami hal ihwal
mekanisme teknis proses pencairan dana desa, sementara di desa-desa suasana
politik lokal justru lebih tajam dan sensitif muncul. Di sisi lain, SILPA yang
terlalu besar dan tidak wajar juga bisa berpotensi menjadi celah penyimpangan
dalam tata kelola keuangan desa. Kondisi seperti ini perlu diantisipasi agar
tak banyak menimbulkan kendala serius dalam implementasinya ke depan.
Solusinya,
pemkab melalui dinas-dinas terkait (forum SKPD) dituntut untuk menyiapkan diri
dengan mendesian SOP (standar operasional prosedur) untuk implementasi proses
tata kelola anggaran dana desa yang lebih memberikan jaminan kelancaran dan
sistem lebih efektif serta tidak harus berlarut atau stagnan namun tanpa mengurangi
tingkat kehati-hatian dan ketelitian dalam proses koreksi, evaluasi dan
verivikasi nya. Setidaknya bisa lebih dipastikan target kinerja masing-masing
SKPD yang menangangi baik target jangka waktu (berapa hari tiap meja SKPD)
untuk koreksi, evaluasi dan verivikasinya, seperti best practice nya Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP). SOP dimaksud dibahas dan dirembukkan serta
disepakati bersama yang akan menjadi produk Peraturan Bupati.
Disamping itu
tak kalah penting adalah upaya kepala daerah sendiri untuk membangun suatu
kesamaan persepsi terhadap Agenda Pembaruan Desa sebagaimana amanat UU Desa
yang telah mengakui hak dan kewenangan desa untuk merencanakan dan mengelola
anggaran sesuai kebutuhan mendesak dan prioritas bagi percepatan mengurangi
kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak yang berada di
pedesaan. Kepala Daerah bersama-sama seluruh jajaran SKPD birokrasi pemkab tak
boleh lagi memandang desa hanya sebagai “obyek” pembangunan saja seperti cara
pandang masa lalu, melainkan sebagai sebuah Entitas dan Subyek yang harus
diakui dan diberikan peluang untuk bisa berdaya dan mandiri. Pendekatan dan
cara pandang klasik pejabat publik maupun birokrasi yang masih cenderung
berprilaku arogan dan feodal harus mulai jauh-jauh ditinggalkan, perlu ada
revolusi mindset. Sekali lagi perlu dipahami dan diingat bersama, anggaran dana
desa baik dari APBN maupun ADD dari APBD merupakan HAK
Desa-Desa dan bukanlah BANTUAN ke
Desa-Desa, maka bagaimanapun semua elit politik dan birokrasi baik pusat
dan daerah wajib mengawal dan memastikan anggaran itu dapat tersalurkan dengan
lancar dan tepat waktu ke rekening kas desa.
Disisi lain
seluruh aparatur desa dituntut pula komitmennya untuk menyiapkan diri dengan
berupaya melatih dan meningkatkan kompetensi dan kinerja dalam mengelola
anggaran desa dengan prinsip terbuka dan bisa dipertangungjawabkan (transparan
dan akuntabel) penggunaannya sesuai
ketentuan dan tepat waktu dalam pelaksanaan kegiatan, maka seluruh stake
holder di desa perlu memperkuat ruang keteribatan (partisipasi) di semua alur
proses mulai dari musyawarah perencanaan, pelaksanaan terlebih dalam pengawasan
realisasi APBDesa dan evaluasi serta pertanggungjawaban, pengawasan terbaik
justru dari seluruh rakyat desa itu sendiri sebagai pihak yang menerima serta
merasakan langsung dampak dari program kegiatan ke desa-desa yang bersumber
dari APBDesa, APBD Kabupaten, Provinsi dan APBN. Seluruh elit desa dan warga
desa (terutama generasi muda terdidik sebagai tanggung jawab intelektual) mesti
sigap, bersikap proaktif mengawal, jangan
bersikap apatis, skeptis bahkan menyia-nyiakan peluang untuk bisa mempercepat
proses perbaikan kualitas hidup seluruh rumah tangga di desa sekaligus mengurangi
kesenjangan hidup antara perkotaan dan pedesaan. Singkatnya, jangan terlalu
banyak proses ‘pembiaran-pembiaran’ ke depan. Semoga.