Oleh : Muda
Mahendrawan *
“Secara konstitusional
tanggung jawab perbaikan kualitas hidup rakyat banyak di pedesaan
melekat langsung pada pemerintah supra desa ( pusat,provinsi,kabupaten ), namun
secara moril seluruh kalangan berpendidikan tinggi ( kampus-kampus
) justru berada di garis terdepan,
karena telah berpeluang mengenyam pendidikan
tinggi wajib menebar kembali efek keterdidikan
itu untuk menguatkan kapasitas SDM
dan menggerakkan produktifitas rakyat di pedesaan agar berdaya, terbebas
dari jerat kemiskinan, pemiskinan, keterpurukan tiap rumah
tangga, memperkecil jurang ketimpangan kota-desa
demi memperkokoh kemandirian bangsa”
UU Desa
menjadi babak baru perjalanan eksistensi desa sekaligus melegitimasi
upaya gerak langkah seluruh pemangku kepentingan bangsa untuk memastikan
seluruh agenda pembaruan desa sebagai perubahan mendasar paradigma
pembangunan (dari desa – kerakyatan) dapat diimplementasikan dengan komitmen
tinggi dan konsisten. Jangan sampai ekspektasi rakyat banyak di desa tak
menemui perubahan berarti akibat implementasi yangtak berjalan
optimal. Ibarat macan kertas, UU itu terdengar nyaring bunyinya namun tak
membuat semua pihak yang diatur konsisten untuk mentaatinya. Dengan pengakuan
kewenangan asal usul, kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan yang
ditugaskan tentu menjadi peluang bagi desa terutama dalam mengelola keuangan
dan aset desa dimulai sejak perencanaan hingga harus dipertanggungjawabkan,
peluang ini mesti dibarengi langkah nyata untuk menyiapkan penguatan
kapasitas aparatur dan semua kelembagaan masyarakat desa agar kewenangan itu
bisa dikelola secara terbuka, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi warga
desa hingga tak rentan munculnya penyimpangan yang tak diharapkan karena
berdampak stagnan dan merugikan rakyat desa. Di sisi lain Ungkapan ‘1 milyar 1
desa’ sepertinya sudah melekat di kalangan warga desa - meskipun
bukan sekaligus melainkan bertahap-. Terlepas berapapun dana yang masuk ke kas
desa yang pasti jumlahnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Lalu siapa pihak
yang sejatinya berada di garis terdepan (diluar pemerintah) yang
secara moril dan intelektual punya tanggungjawab besar menyiapkan
penguatan kapasitas SDM aparatur dan seluruh pemangku kepentingan
masyarakat di desa-desa ?
Perguruan Tinggi tentu
tak hanya bertanggung jawab memproduksi sarjana tiap tahun ajaran
(rutinitas), lebih dari itu sebagai pusat unggulan pengetahuan dan keilmuan
dituntut membawa dampak transformasi bagi perbaikan kualitas SDM generasi anak
bangsa dengan menebarkan perubahan pola pikir (mind set)
rakyat dalam memecahkan dan menjadi jalan keluar problem kesulitan
hidup untuk menjauhkan dari kondisi keterbelakangan dan kemiskinan
hidup rakyat (desa) agar lebih berdaya dan produktif sesuai amanat dan
cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
UU Desa No 6 Tahun
2014 dengan tegas menempatkan kampus dalam peran strategis
mengawal agenda pembaruan desa, misalnya terkait dengan aspek penataan desa
baik dalam agenda pemekaran desa, penggabungan desa, penetapan desa dan
desa adat, perubahan desa menjadi kelurahan dan sebaliknya kelurahan
menjadi desa sebagian atau seluruhnya, mensyaratkan adanya kajian
naskah akademis dari perguruan tinggi dengan pembentukan tim yang salah
satunya dari unsur akademisi kampus. Selama ini penyusunan regulasi baik
di level pusat dan daerah umumnya dirumuskan dengan lebih dulu menyusun
kajian dan riset dalam sebuah naskah akademis agar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Terlebih ke depan dengan semakin
kompleksnya dinamika di desa-desa jauh lebih membutuhkan riset dan
kajian komprehensif untuk mengambil kebijakan penting menyangkut hajat
hidup rakyat banyak di desa.
Melembagakan Kajian
Isu Desa
UU Desa
membawa agenda pembaruan dimana desa lebih memiliki kewenangan dan
modal yang memadai dalam menata dirinya sendiri melalui asas rekognisi dan
subsidiaritas yang diakui negara. Hal ini menjadi peluang besar bagi
desa dalam menjawab berbagai persoalan, mulai dari kemiskinan, pengangguran
dan ketimpangan hidup antara wilayah perkotaan dan
pedesaan. Meski demikian, implementasi UU Desa ini bukan
tanpa kendala dan tantangan berat menyangkut kompetensi SDM di desa yang
masih terbatas baik aparatur maupun kelembagaan masyarakatnya, terutama
desa-desa di pelosok pesisir dan pedalaman karena lemah dan
minimnya akses informasi dan infrastruktur dasar. Apalagi untuk desa-desa
seperti di Kalimantan, Papua, dan Indonesia Bagian Timur yang
tersebar cukup luas hingga ke pelosok bahkan perbatasan negara,
dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata sangat sedikit per
kilometer nya, tentu cukup berat bagi tiap pemerintah kabupaten
untuk menjalankan supervisi, pembinaan dan pengawasannya, mengingat berbagai
kesulitangeografis dan jangkauan antar desa satu dan lainnya. Maka sangat
mendesak dan urgen keberadaan tenaga SDM pendamping (profesional) di
desa (74 ribu desa) dari generasi muda terdidik dan terampil
yang bisa mengawal proses tata kelola desa dari hari ke hari agar
mampu menggali inisiatif, memetakan dan memaksimalkan potensi desa (SDM dan
SDA) serta meminimalisir salah kelola yang bisa berujung
penyimpangan.
Tak dibantah, Perguruan
Tinggi sebagai ruang terhimpunnya kalangan akademisi (dosen,guru besar, dan
mahasiswa – alumni) lintas semua disiplin ilmu memiliki peluang besar
untuk berkontribusi memperkuat kompetensi dan membawa
dorongan motivasi dan semangatmahasiswa dan lulusannya untuk fokus
menggerakkan potensi SDM dan SDA di desa-desa,melalui aktifitas dampingan atau
berbagai bentuk advokasi pemberdayaan masyarakat baik bersinergi
dengan program-program resmi pemerintah supra desa atau program
organisasi-organisasi masyarakat sipil (NGO’s) maupun (lebih diharapkan)
atas inisiatif dan kemauansendiri terdorong secara moril menjadi relawan pendamping desa
sebagai sebuah gerakan sosial.
Berbagai program
pendampingan tersebut di atas memiliki skala yang beragam, mulai kepada
aparatur desa dalam merancang perencanaan yang tepat sasaran dan menggerakkan
inisiatif warga desa melalui berbagai kelompok komunitas (petani, nelayan,
peternak, pedagang, kelompok perempuan, dan lainnya) untuk meningkatkan
perlibatan atau partisipasi warga desa dalam proses pengambilan keputusan agar
lebih transparan, menguatkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan
yang dijalankan. Bagaimanapun, kampus sebagai lembaga pendidikan
tinggi pusat riset dan kajian dituntut lebih adaptif dan peka
dengan apa yang menjadi ekspektasi publik (tuntutan
jaman) sebagai ekses pergeseran paradigma pembangunan (kerakyatan), agar
produknya (sarjana, hasil riset dan kajian, aktifitasdampingan) mampu berperan
eksis secara nyata membawa perubahan (pola
pikir) masyarakat (agent of change) yang lebih produktif, kreatif
dan inovatif untuk berjuang mengejar pemenuhan hak-hak dasarnya. Peluang
ini sekaligus membawa tantangan penguatan kualitasdan
kapasitas SDM di desa, agar tiap kampus dengan seluruh energi
SDM yang cukup besar(dosen, peneliti, guru besar, mahasiswa dan alumni) lintas
keilmuan dapat terhimpun dan terkonsolidasi lebih fokus maka perlu
direspon dengan inisiatif melembagakan Pusat Kajian Pengembangan
dan Pemberdayaan Desa atau apapun sebutan namanya sesuai
keinginankampus yang intinya menjadi sentra isu dan informasi
strategis, kajian, penelitian, advokasi pemberdayaan, pelatihan
pendampingan bahkan kelak mampu jadi sentra database desa
yang komprehensif dan bisa diakses secara luas serta terbuka.
Perlibatan dan
sinergi seluruh lintas di siplin keilmuan mutlak
dibutuhkan, mengingat Desa sebagai persekutuan hidup masyarakat
sangat kompleks menyangkut seluruh aspek dan hak-hak dasar rakyat baik
aspek pendidikan formal dan non formal, kualitas kesehatan
rakyat (kesehatan ibu dan anak, gizi, penyakit menular, jaminan kesehatan dan
lainnya), sarana prasarana infrastruktur dasar seperti jalan,
jembatan, pengairan, sanitasi, listrik, rumah layak huni, lahan cocok
tanam dan pertanian dalam arti luas (pangan, holti, peternakan, perikanan,
kebun rakyat, dan lainnya) berikut aspek teknologi tepat guna berskala desa,
aspek tata kelola pemerintahan desa, tata kelola pembangunan desa, tata kelola
pemberdayaan masyarakat desa, penataan ruang dan kawasan pedesaan, akses
informasi dan komunikasi, aspek pengelolaan potensi SDA (mata air, sungai,
laut, hutan, bukit, gunung, perut bumi), pemberdayaan usaha ekonomi mikro
(rumah tangga), lembaga keuangan mikro pedesaan, pengelolaan BUMDesa, dan
banyak lagi aspek lainnya yang kesemuanya butuh perencanaan berdasarkan potensi
dan data base yang akurat agar terukur dan tepat sasaran mencapai hasil(out
put) lebih optimal untuk mengejar produktivitas agar memiliki daya saing
ke depan. Proses pembangunan tanpa perencanaan yang terukur dan tepat
menimbulkan dampak mubazir, kalaupun ada kemajuan hanya akan terlihat baik dan
bermanfaat untuk jangka pendek saja dan tak berkelanjutan.
Keberadaan kelembagan
kajian desa di Kampus juga diharapkan lebih terfokus dalam berkontribusi meramu formulasi
kebijakan strategis dan mendasar untuk menjadi solusi atas beragam
tantangan dan problem di pedesaan. Peran kelembagaan ini secara langsung
dan tak langsung baik bagi internal dan
eksternal kampus bisa digambarkan antara lain : Pertama,
menjadi mitra kerjasama yang bersinergi secara fokus dan berkelanjutan dengan
seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintah supra desa (pusat, provinsi,
pemkab) maupun pihak swasta dan berbagai organisasi masyarakat sipil dalam
memperkuat kapasitas SDM dan ketrampilan dari aparatur dan kelembagaan
masyarakat desa terhadap proses tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat desa terutama dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan evaluasi, sampai pertanggungjawabannya
melalui beragam kegiatan baik riset/penelitian. kajian, advokasi, pelatihan
untuk pendampingan, dan lainnya . Kedua, ke depan diharapkan berkontribusi jadi sentra
edukasi dan informasi strategis terkait otonomi desa bagi semua stake
holder terutama namun tak terbatas kepada pemerintah supra desa maupun
pemerintah desa dalam memetakan potensi dan peluang desa-desa sebagai bahan
untuk meramu desain kebijakan yang kreatif dan inovatif agar mampu membuka
akses bagi peningkatan daya saing dan produktifitas desa. Ketiga, secara
konsisten bisa menghimpun seluruh hasil-hasil riset dankajian untuk
dikodifikasi menjadi kumpulan database dari waktu ke waktu (baik seluruh hasil
penelitian dan kajian terdahulu, saat ini dan ke depan) sehingga
diupayakan ke depan menjadi pusat informasi desa dan kawasan pedesaan
yang akurat, uptodate, lengkap dan komprehensif bersumber dari kajian
lintas disiplin ilmu. Setidaknya bagi desa-desa dan semua pihak
manapun lebih jelas untuk mengakses referensi (alamat) secara kelembagaan
(bukan secara personalitas) yang dituju jika ingin bersikap
proaktif mengejar pengetahuan, informasi atau data based yang dibutuhkan. Keempat, secara
tak langsung akan merawat atmosfer spirit keberpihakan
(kerakyatan) lebih nyata, terlebih bagi mahasiswa/i sebagai calon sarjana
untuk pengembangan keilmuan dan pengetahuan yang lebih adaptif dengan
tuntutan kondisi realitas dan dinamika di masyarakat, bagaimanapun perguruan
tinggi sebagai pusat unggulan dituntut merawat integritas dan
independensi keilmuan dan pengetahuan sebagai basis spirit idealisme
dalam melahirkan generasi terdidik bangsa yang berkualitas (kompetensi, pola
pikir dan karakter tangguh) tak sekadar meraih status ke-sarjana-an semata,
namun membawa semangat perubahan positif yang efeknya ditularkan
secara nyata, minimal untuk menolong dirinya sendiri (rumah tangga dan
lingkungannya) agar kelak bisa hidup mandiri sekaligus tergerak
untuk menularkan efek ketrampilan dan kompetensi keilmuannya kepada
kalangan luas yang tak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi
dan justru sebagian besar hidup di pedesaan.
Merawat Spirit (Ide-Ide) Kerakyatan
Kehadiran lembaga kajian
desa diharapkan pula menjadi ‘magnet’ kuat untuk merawat
atmosfer berfikir dan bertindak lebih substantif (tak sekadar pro-formal dan
rutinitas) oleh seluruh insan civitas akademika kampus dengan spirit pembelaan
dan keberpihakan nyata bagi rakyat banyak (desa) agar lebih terfokus dan massif
(keroyokan dari seluruh akademisi lintas disiplin ilmu, mahasiswa/i, dan
sarjana alumni) serta sinergi antar perguruan tinggi sebagai konkritisasi dari
tanggung jawab menjalankan prinsip ketiga Tri Dharma Perguruan
Tinggi yakni Pengabdian Pada Masyarakat dengan konsisten, baik
melalui aktifitas dan program kerjasama (berkelanjutan) untuk riset, kajian,
diskusi, seminar, sarasehan, pelatihan pendampingan, advokasi pemberdayaan
masyarakat, juga bisa mendesain revitalisasi terhadap program Kuliah Kerja
Nyata (KKN) atau Kuliah Kerja Lapangan (KKL) mahasiswa/i agar lebih mendarat
dan tematik sesuai kebutuhan dan tuntutan peran di tengah masyarakat desa
sehingga mampu membawa efek transformasi sosial ekonomi dan iptek yang bisa
teraplikasi di desa-desa sasaran KKN/KKL itu secara berkelanjutan, tak hanya
bersifat simbolik dan sesaat, demikian pula program mahasiswa praktek
magang kerja, kerjasama penguatan kapasitas SDM dengan berbagai
pihak baik dengan pemerintah kabupaten, pemerintah desa, atau dengan pihak
BUMN/BUMD, korporasi swasta nasional maupun campuran asing (misalnya
dalam mendesain dan mengawal perencanaan dan implementasi program CSR agar
tepat, efektif, dan produktif) serta berbagai aktifitas lainnya untuk
peluang bagi mahasiswa dan alumni mendapat kesempatan menceburkan
diri dan menyelami (berkolaborasi) langsung di tengah rakyat untuk belajar mengidentifikasi dan
mendesain pengelolaan potensi desa secara kreatif dan inovatif sesuai
dengan tuntutan jamansekaligus menjawab problem beban pengangguran
terdidik yang semakin besar, karena sudah bukan lagi jamannya sarjana
cuma punya mimpi dan menggantungkan diri melamar sebagai PNS maupun
karyawan swasta semata, namun perlu berupaya membuka lapangan kerja
bagi dirinya sendiri dan jika berkembang tentu berdampak memberi peluang
kerja bagi orang lain, melahirkan wirausaha-wirausaha (entrepreneur) baru dan
mandiri ke depan dengan memaksimalkan potensi SDA dan SDM di pedesaan yang
belum tergarap maksimal tentuakan langsung berimbas kepada rakyat desa agar
lebih produktif dan berdaya saing, apakah mengelola bahan baku dari sumber
pertanian, perikanan, peternakan, atau mengelola industri kreatif berskala desa
seperti kerajinan makanan olahan, pengembangan kerajinan tradisional berbahan
baku lokal, dan bermacam ekonomi kreatif lainnya baik sebagai pengelola
langsung ataupun hanya pemasarannya ke berbagai daerah lain baik lokal dan
antar pulau, termasuk misalnya membutuhkan sentuhan teknologi tepat
guna atau menggeser dari cara manual dantradisionil ke cara lebih modern
melalui mekanisasi atau teknologi lain untuk pengembanganproduktifitas
dan berdaya saing. Apalagi sangat banyak sekali mahasiswa
yang menempuh studi di kampus-kampus justru berasal dari daerah
(desa-desa) sehingga otomatis mestinya punya beban tanggung jawab moril dengan
daerah asalnya untuk digerakkan lebih produktif. Disamping itu keberadaan
kelembagaan ini secara tak langsung diharapkan mampu merawat dan
menumbuhkan terus semangat daya juang keberpihakan (kerakyatan)
dari mahasiswa (apalagi yang berasal dari desa) karena berbagai
aktifitas kajian, diskusi, pelatihan, pendampingan yang terlembagakan
secara fokus setidaknya akan membawa suasana batinemosional
- mengingatkan kembali ke daerah atau desa asalnya yang masih
cukup rentankondisi kemiskinan karena ketidakberdayaan dan butuh
digerakkan potensi SDM dan SDA nya, maklumlah ketika mahasiswa asal
daerah/desa menempuh studi di perkotaan (ibukota provinsi dan/atau
kabupaten) yang suasana relasi sosialnya sangat berbeda tak menutup
kemungkinan (fakta empiris) berdampak pergeseran orientasi dan daya
juang untuk kembali menggerakan potensi daerah/desa asalnya jangan
sampai semakin kendor terbawa pengaruh suasana perkotaan
yang cukup rentan mendegradasi semangat kerakyatan
(ketika awal studi) bergeser ke arah serba pragmatis
bahkan cenderung apatis (efek hedonisme) dengan nilai-nilai yang
seharusnya tetap melekat dan terawat, maka disini sekaligus jadi
ruang untuk mengaktualisasikan diri dan merawat rasa memiliki sehingga
ketika sambil menempuh studi tetap terbangun semangat imajinasi dan
impiannya serta kedalaman pikir untuk menggerakkan potensi SDM dan
SDA di desa-desa sekaligus sebagai ‘laboratorium’ bagi studi nya agar jauh
lebih matang mengejar peluang potensi itu ketika selesai studi kelak.
Membangun atmosfer ‘desa’
di kampus ini membutuhkan konsep desain kelembagaan yang jelas arah dan fokus
aktifitas sasarannya bagi pendidik, mahasiwa, dan alumni agar lebih
mendarat tak sekadar kelembagaan ‘papan nama’
yang cenderung terjebak cara pandangrutinitas semata (sebentar hidup
sebentar mati suri), kelembagaan ini butuh komitmen dan kesadaran
kolektif seluruh civitas akademika untuk berfikir besar agar
substansi tujuan dan eksistensi kelembagaan punya kejelasan
makna bagi peningkatan kualitas peran dan tanggung jawab kampus
kepada rakyat luas.
Terlebih dikaitkan
dengan tantangan ke depan yang mau tak mau harus membuka diri dengan pasar
global sekarang memasuki era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang
membutuhkan jauh lebih banyak lahirnya wirausaha-wirausaha baru yang
lebih handal dan kreatif untukmemperkuat produk-produk lokal agar
mampu bersaing menghadapi serbuan produk asing yang saat ini saja
sudah membanjiri dan mengancam pasar produk lokal. Jangankan terlalu muluk
bicara ekspor karena untuk itu pasti lebih butuhkan padat modal
dan teknologi (industri menengah dan besar), bagaimana agar
produk-produk lokal kita jangan sampaitergerus saja sudah membutuhkan kerja
keras yang serius dan komitmen tinggi dari seluruh komponen bangsa termasuklah
peran kampus yang sangat penting.
Eksistensi energi SDM yang berkelebihan di kampus ini perlu lebih
dimaksimalkan oleh para elit dan seluruh civitas akademika kampus baik
struktural dan fungsional (rektor dan jajaran struktural, dekan, dosen dan guru
besar, lembaga-lembaga internal, mahasiswa dan ikatan alumni) agar
proaktif merespon ekspektasi publik dengan turut terlibat berkontribusi
langsung mengawal implementasi agenda pembaruan paradigma
pembangunan (dari desa – kerakyatan) sebagai wujud nyata tanggung jawab
moral, sosial, dan intelektual yang berarti pula sebuah ikhtiar bersama untuk
menghindari - meminimalisir terpeliharanya proses pembiaran di negara ini.
Hadirnya Pusat
Penelitian Pengembangan dan Pemberdayaan Desa (P4D) Untan yang dibentuk melalui
SK Rektor Untan baru-baru ini sebagai wujud respon positif atas
gagasan ini sekaligus angin segar bagi upaya memaksimalkan peran
kontribusi perguruan tinggi untuk percepatan transformasi sosial ekonomi
desa-desa di Kalbar, tinggal ditindaklanjuti dengan ramuan konsep
peta jalan (road map) dan peta kerja (work map) sebagai agenda program
kerja konkrit dengan pelibatan aktif seluruh unsur civitas
akademika lintas disiplin keilmuan(internal) dan pihak
eksternal serta bersinergi kokoh dengan pemerintah supra desa (pusat,
pemprof, pemkab), semoga seluruh perguruan tinggi lain baik negeri dan swasta
di Kalbar juga menyusul inisiatif kelembagaan yang sama substansinya,
sebab bicara upaya percepatan perbaikan hidup rakyat banyak di
desa jelas butuh perjuangan cukup berat dan konsisten dengan dikawal ‘energi’
SDM berkualitas yang cukup besar (jumlah desa di Indonesia 74
ribu, di Kalbar sekarang 2000 desa) maka butuh
kerja-kerja fokus secara ‘keroyokan’(massif) dan saling
bersinergi agar mampu menggerakkan potensi SDM dan SDA pedesaanlebih
produktif sehingga proses transformasi sosial ekonomi pedesaan
menemukan arah konseptual dan aplikasi yang lebih jelas dan terang
bagi masa depan desa.
Akhirnya, spirit Me-n‘desa’kan kampus dengan terus merawat atmosfer
ide-ide kerakyatan dalam relasi sosial kalangan intelektual di kampus-kampus, dan Meng‘kampus’kan desa sebagai upaya memperkuat kapasitas SDM dan cara
pandang obyektif, visioner, logis, kreatif,
inovatif, dan produktif berfikir dan bertindak dalam relasi
sosial di pedesaan, harus didorong menjadi sebuah gerakan
sosial lebih massif dan konsisten jika kita
ingin mempercepat proses transformasi sosial – ekonomi
– iptek untuk menjadikan desa-desa mampu bergerak lebih
produktif (bukan hanya menjadi pasar - konsumtif)
yang berdampak memperkokoh kemandirian bangsa. Produktif rakyat desa-desa, kokoh lah Indonesia.!
Muda Mahendrawan,
SH
Pendiri Institut
Indonesia Moeda, sehari-hari Notaris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar