Sabtu, 18 Juli 2015

Me-n’desa’kan Kampus - Meng’kampus’kan Desa



Oleh : Muda Mahendrawan *
“Secara konstitusional tanggung jawab perbaikan kualitas hidup rakyat banyak di pedesaan melekat langsung pada pemerintah supra desa ( pusat,provinsi,kabupaten ), namun secara moril seluruh kalangan berpendidikan tinggi ( kampus-kampus ) justru berada di garis terdepan, karena telah berpeluang mengenyam pendidikan tinggi wajib menebar kembali efek keterdidikan itu untuk menguatkan kapasitas SDM dan menggerakkan produktifitas rakyat di pedesaan agar berdaya, terbebas dari jerat kemiskinan, pemiskinan, keterpurukan tiap rumah tangga, memperkecil jurang ketimpangan kota-desa demi memperkokoh kemandirian bangsa”
UU Desa menjadi babak baru perjalanan eksistensi desa sekaligus melegitimasi upaya gerak langkah seluruh pemangku kepentingan bangsa untuk memastikan seluruh  agenda pembaruan desa sebagai perubahan mendasar paradigma pembangunan (dari desa – kerakyatan) dapat diimplementasikan dengan komitmen tinggi dan konsisten. Jangan sampai ekspektasi rakyat banyak di desa tak menemui perubahan berarti akibat implementasi yangtak berjalan optimal. Ibarat macan kertas, UU itu terdengar nyaring bunyinya namun tak membuat semua pihak yang diatur konsisten untuk mentaatinya. Dengan pengakuan kewenangan asal usul, kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan yang ditugaskan tentu menjadi peluang bagi desa terutama dalam mengelola keuangan dan aset desa dimulai sejak perencanaan hingga harus dipertanggungjawabkan, peluang ini mesti dibarengi langkah nyata untuk menyiapkan penguatan kapasitas aparatur dan semua kelembagaan masyarakat desa agar kewenangan itu bisa dikelola secara terbuka, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi warga desa hingga tak rentan munculnya penyimpangan  yang tak diharapkan karena berdampak stagnan dan merugikan rakyat desa. Di sisi lain Ungkapan ‘1 milyar 1 desa’ sepertinya sudah melekat di kalangan warga desa - meskipun bukan sekaligus melainkan bertahap-. Terlepas berapapun dana yang masuk ke kas desa yang pasti jumlahnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Lalu siapa pihak yang sejatinya berada di garis terdepan (diluar pemerintah) yang secara moril dan intelektual punya tanggungjawab besar menyiapkan penguatan kapasitas SDM aparatur dan seluruh pemangku kepentingan masyarakat di desa-desa ?
Perguruan Tinggi tentu tak hanya bertanggung jawab memproduksi sarjana tiap tahun ajaran (rutinitas), lebih dari itu sebagai pusat unggulan pengetahuan dan keilmuan dituntut membawa dampak transformasi bagi perbaikan kualitas SDM generasi anak bangsa dengan menebarkan perubahan pola pikir (mind set) rakyat dalam memecahkan dan menjadi jalan keluar problem kesulitan hidup untuk menjauhkan dari kondisi keterbelakangan dan kemiskinan hidup rakyat (desa) agar lebih berdaya dan produktif sesuai amanat dan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
UU Desa No 6 Tahun 2014 dengan tegas menempatkan kampus dalam peran strategis mengawal agenda pembaruan desa, misalnya terkait dengan aspek penataan desa baik dalam agenda pemekaran desa, penggabungan desa,  penetapan desa dan desa adat, perubahan desa menjadi kelurahan dan sebaliknya kelurahan menjadi desa sebagian atau seluruhnya, mensyaratkan adanya kajian naskah akademis dari perguruan tinggi dengan pembentukan tim yang salah satunya dari unsur akademisi kampus. Selama ini penyusunan regulasi baik di level pusat dan daerah umumnya dirumuskan dengan lebih dulu menyusun kajian dan riset dalam sebuah naskah akademis agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Terlebih ke depan dengan semakin kompleksnya dinamika di desa-desa jauh lebih membutuhkan riset dan kajian komprehensif untuk mengambil kebijakan penting menyangkut hajat hidup rakyat banyak di desa.
Melembagakan Kajian Isu Desa
UU Desa membawa agenda pembaruan dimana desa lebih memiliki kewenangan dan modal yang memadai dalam menata dirinya sendiri melalui asas rekognisi dan subsidiaritas yang diakui negara. Hal ini menjadi peluang besar bagi desa dalam menjawab berbagai persoalan, mulai dari kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan hidup antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Meski demikian, implementasi UU Desa ini bukan tanpa kendala dan tantangan berat menyangkut kompetensi SDM di desa yang masih terbatas baik aparatur maupun kelembagaan masyarakatnya, terutama desa-desa di pelosok pesisir dan pedalaman karena lemah dan minimnya akses informasi dan infrastruktur dasar. Apalagi untuk desa-desa seperti di Kalimantan, Papua, dan Indonesia Bagian Timur yang tersebar cukup luas hingga ke pelosok bahkan perbatasan negara, dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata sangat sedikit per kilometer nya, tentu cukup berat bagi tiap pemerintah kabupaten untuk menjalankan supervisi, pembinaan dan pengawasannya, mengingat berbagai kesulitangeografis dan jangkauan antar desa satu dan lainnya. Maka sangat mendesak dan urgen keberadaan tenaga SDM pendamping (profesional) di desa (74 ribu desa) dari generasi muda terdidik dan terampil yang bisa mengawal proses tata kelola desa dari hari ke hari agar mampu menggali inisiatif, memetakan dan memaksimalkan potensi desa (SDM dan SDA) serta meminimalisir salah kelola yang bisa berujung penyimpangan.
Tak dibantah, Perguruan Tinggi sebagai ruang terhimpunnya kalangan akademisi (dosen,guru besar, dan mahasiswa – alumni) lintas semua disiplin ilmu memiliki peluang besar untuk berkontribusi memperkuat kompetensi dan membawa dorongan motivasi dan semangatmahasiswa dan lulusannya untuk fokus menggerakkan potensi SDM dan SDA di desa-desa,melalui aktifitas dampingan atau berbagai bentuk advokasi pemberdayaan masyarakat baik bersinergi dengan program-program resmi pemerintah supra desa atau program organisasi-organisasi masyarakat sipil (NGO’s) maupun (lebih diharapkan) atas inisiatif dan kemauansendiri terdorong secara moril menjadi relawan pendamping desa sebagai sebuah gerakan sosial.
Berbagai program pendampingan tersebut di atas memiliki skala yang beragam, mulai kepada aparatur desa dalam merancang perencanaan yang tepat sasaran dan menggerakkan inisiatif warga desa melalui berbagai kelompok komunitas (petani, nelayan, peternak, pedagang, kelompok perempuan, dan lainnya) untuk meningkatkan perlibatan atau partisipasi warga desa dalam proses pengambilan keputusan agar lebih transparan, menguatkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan yang dijalankan. Bagaimanapun, kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi pusat riset dan kajian dituntut lebih adaptif dan peka dengan apa yang menjadi ekspektasi publik (tuntutan jaman) sebagai ekses pergeseran paradigma pembangunan (kerakyatan), agar produknya (sarjana, hasil riset dan kajian, aktifitasdampingan) mampu berperan eksis secara nyata membawa perubahan (pola pikir) masyarakat (agent of change) yang lebih produktif, kreatif dan inovatif untuk berjuang mengejar pemenuhan hak-hak dasarnya. Peluang ini sekaligus membawa tantangan penguatan kualitasdan kapasitas SDM di desa, agar tiap kampus dengan seluruh energi SDM yang cukup besar(dosen, peneliti, guru besar, mahasiswa dan alumni) lintas keilmuan dapat terhimpun dan terkonsolidasi lebih fokus maka perlu direspon dengan inisiatif melembagakan Pusat Kajian Pengembangan dan Pemberdayaan Desa atau apapun sebutan namanya sesuai keinginankampus yang intinya menjadi sentra isu dan informasi strategis, kajian, penelitian, advokasi pemberdayaan, pelatihan pendampingan bahkan kelak mampu jadi sentra database desa yang komprehensif dan bisa diakses secara luas serta terbuka.
Perlibatan dan sinergi seluruh lintas di siplin keilmuan mutlak dibutuhkan, mengingat Desa sebagai persekutuan hidup masyarakat  sangat kompleks menyangkut seluruh aspek dan hak-hak dasar rakyat baik aspek pendidikan formal dan non formal, kualitas kesehatan rakyat (kesehatan ibu dan anak, gizi, penyakit menular, jaminan kesehatan dan lainnya), sarana prasarana infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pengairan, sanitasi, listrik, rumah layak huni, lahan cocok tanam dan pertanian dalam arti luas (pangan, holti, peternakan, perikanan, kebun rakyat, dan lainnya) berikut aspek teknologi tepat guna berskala desa, aspek tata kelola pemerintahan desa, tata kelola pembangunan desa, tata kelola pemberdayaan masyarakat desa, penataan ruang dan kawasan pedesaan, akses informasi dan komunikasi, aspek pengelolaan potensi SDA (mata air, sungai, laut, hutan, bukit, gunung, perut bumi), pemberdayaan usaha ekonomi mikro (rumah tangga), lembaga keuangan mikro pedesaan, pengelolaan BUMDesa, dan banyak lagi aspek lainnya yang kesemuanya butuh perencanaan berdasarkan potensi dan data base yang akurat agar terukur dan tepat sasaran mencapai hasil(out put) lebih optimal untuk mengejar produktivitas agar memiliki daya saing ke depan. Proses pembangunan tanpa perencanaan yang terukur dan tepat menimbulkan dampak mubazir, kalaupun ada kemajuan hanya akan terlihat baik dan bermanfaat untuk jangka pendek saja dan tak berkelanjutan.
Keberadaan kelembagan kajian desa di Kampus juga diharapkan lebih terfokus dalam berkontribusi meramu formulasi kebijakan strategis dan mendasar untuk menjadi solusi atas beragam tantangan dan problem di pedesaan. Peran kelembagaan ini secara langsung dan tak langsung baik bagi internal dan eksternal kampus bisa digambarkan antara lain : Pertama, menjadi mitra kerjasama yang bersinergi secara fokus dan berkelanjutan dengan seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintah supra desa (pusat, provinsi, pemkab) maupun pihak swasta dan berbagai organisasi masyarakat sipil dalam memperkuat kapasitas SDM dan ketrampilan dari aparatur dan kelembagaan masyarakat desa terhadap proses tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa terutama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan evaluasi, sampai pertanggungjawabannya melalui beragam kegiatan baik riset/penelitian. kajian, advokasi, pelatihan untuk pendampingan, dan lainnya . Kedua, ke depan diharapkan berkontribusi jadi sentra edukasi dan informasi strategis terkait otonomi desa bagi semua stake holder terutama namun tak terbatas kepada pemerintah supra desa maupun pemerintah desa dalam memetakan potensi dan peluang desa-desa sebagai bahan untuk meramu desain kebijakan yang kreatif dan inovatif agar mampu membuka akses bagi peningkatan daya saing dan produktifitas desa. Ketiga, secara konsisten bisa menghimpun seluruh hasil-hasil riset dankajian untuk dikodifikasi menjadi kumpulan database dari waktu ke waktu (baik seluruh hasil penelitian dan kajian terdahulu, saat ini dan ke depan) sehingga diupayakan ke depan menjadi pusat informasi desa dan kawasan pedesaan yang akurat, uptodate, lengkap dan komprehensif bersumber dari kajian lintas disiplin ilmu. Setidaknya bagi desa-desa dan semua pihak manapun lebih jelas untuk mengakses referensi (alamat) secara kelembagaan (bukan secara personalitas) yang dituju jika ingin bersikap proaktif mengejar pengetahuan, informasi atau data based yang dibutuhkan. Keempat, secara tak langsung akan merawat atmosfer spirit keberpihakan (kerakyatan) lebih nyata, terlebih bagi mahasiswa/i sebagai calon sarjana untuk pengembangan keilmuan dan pengetahuan yang lebih adaptif dengan tuntutan kondisi realitas dan dinamika di masyarakat, bagaimanapun perguruan tinggi sebagai pusat unggulan dituntut merawat integritas dan  independensi keilmuan dan pengetahuan sebagai basis spirit idealisme dalam melahirkan generasi terdidik bangsa yang berkualitas (kompetensi, pola pikir dan karakter tangguh) tak sekadar meraih status ke-sarjana-an semata, namun membawa semangat perubahan positif yang efeknya ditularkan secara nyata, minimal untuk menolong dirinya sendiri (rumah tangga dan lingkungannya) agar kelak bisa hidup mandiri sekaligus tergerak untuk menularkan efek ketrampilan dan kompetensi keilmuannya kepada kalangan luas yang tak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan justru sebagian besar hidup di pedesaan. 
Merawat Spirit (Ide-Ide) Kerakyatan
Kehadiran lembaga kajian desa diharapkan pula menjadi ‘magnet’ kuat untuk merawat atmosfer berfikir dan bertindak lebih substantif (tak sekadar pro-formal dan rutinitas) oleh seluruh insan civitas akademika kampus dengan spirit pembelaan dan keberpihakan nyata bagi rakyat banyak (desa) agar lebih terfokus dan massif (keroyokan dari seluruh akademisi lintas disiplin ilmu, mahasiswa/i, dan sarjana alumni) serta sinergi antar perguruan tinggi sebagai konkritisasi dari tanggung jawab menjalankan prinsip ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Pengabdian Pada Masyarakat dengan konsisten, baik melalui aktifitas dan program kerjasama (berkelanjutan) untuk riset, kajian, diskusi, seminar, sarasehan, pelatihan pendampingan, advokasi pemberdayaan masyarakat, juga bisa mendesain revitalisasi terhadap program Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Kuliah Kerja Lapangan (KKL) mahasiswa/i agar lebih mendarat dan tematik sesuai kebutuhan dan tuntutan peran di tengah masyarakat desa sehingga mampu membawa efek transformasi sosial ekonomi dan iptek yang bisa teraplikasi di desa-desa sasaran KKN/KKL itu secara berkelanjutan, tak hanya bersifat simbolik dan sesaat, demikian pula program mahasiswa praktek magang kerja,  kerjasama penguatan kapasitas SDM dengan berbagai pihak baik dengan pemerintah kabupaten, pemerintah desa, atau dengan pihak BUMN/BUMD, korporasi swasta nasional maupun campuran asing (misalnya dalam mendesain dan mengawal perencanaan dan implementasi program CSR agar tepat, efektif, dan produktif)  serta berbagai aktifitas lainnya untuk peluang bagi mahasiswa dan alumni mendapat kesempatan menceburkan diri dan menyelami (berkolaborasi) langsung di tengah rakyat untuk belajar mengidentifikasi dan mendesain pengelolaan potensi desa secara kreatif dan inovatif sesuai dengan tuntutan jamansekaligus menjawab problem beban pengangguran terdidik yang semakin besar, karena sudah bukan lagi jamannya sarjana cuma punya mimpi dan menggantungkan diri melamar sebagai PNS maupun karyawan swasta semata, namun perlu berupaya membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan jika berkembang tentu berdampak memberi peluang kerja bagi orang lain, melahirkan wirausaha-wirausaha (entrepreneur) baru dan mandiri ke depan dengan memaksimalkan potensi SDA dan SDM di pedesaan yang belum tergarap maksimal tentuakan langsung berimbas kepada rakyat desa agar lebih produktif dan berdaya saing, apakah mengelola bahan baku dari sumber pertanian, perikanan, peternakan, atau mengelola industri kreatif berskala desa seperti kerajinan makanan olahan, pengembangan kerajinan tradisional berbahan baku lokal, dan bermacam ekonomi kreatif lainnya baik sebagai pengelola langsung ataupun hanya pemasarannya ke berbagai daerah lain baik lokal dan antar pulau, termasuk misalnya membutuhkan sentuhan teknologi tepat guna atau menggeser dari cara manual dantradisionil ke cara lebih modern melalui mekanisasi atau teknologi lain untuk pengembanganproduktifitas dan berdaya saing. Apalagi sangat banyak sekali mahasiswa yang menempuh studi di kampus-kampus  justru berasal dari daerah (desa-desa) sehingga otomatis mestinya punya beban tanggung jawab moril dengan daerah asalnya untuk digerakkan lebih produktif. Disamping itu keberadaan kelembagaan ini secara tak langsung diharapkan mampu merawat dan menumbuhkan terus semangat daya juang keberpihakan (kerakyatan) dari mahasiswa (apalagi yang berasal dari desa) karena berbagai aktifitas kajian, diskusi, pelatihan, pendampingan yang terlembagakan secara fokus setidaknya akan membawa suasana batinemosional - mengingatkan kembali ke daerah atau desa asalnya yang masih cukup rentankondisi kemiskinan karena ketidakberdayaan dan butuh digerakkan potensi SDM dan SDA nya, maklumlah ketika  mahasiswa asal daerah/desa menempuh studi di perkotaan (ibukota provinsi dan/atau kabupaten) yang suasana relasi sosialnya sangat berbeda tak menutup kemungkinan (fakta empiris) berdampak pergeseran orientasi dan daya juang untuk kembali  menggerakan potensi daerah/desa asalnya jangan sampai semakin kendor terbawa pengaruh suasana perkotaan yang cukup rentan mendegradasi semangat kerakyatan (ketika awal studi) bergeser ke arah serba pragmatis bahkan cenderung apatis (efek hedonisme) dengan nilai-nilai yang seharusnya tetap melekat dan terawat, maka disini sekaligus jadi ruang untuk mengaktualisasikan diri dan merawat rasa memiliki sehingga ketika sambil menempuh studi tetap terbangun semangat imajinasi dan impiannya serta kedalaman pikir untuk menggerakkan potensi SDM dan SDA di desa-desa sekaligus sebagai ‘laboratorium’ bagi studi nya agar jauh lebih matang mengejar peluang potensi itu ketika selesai studi kelak.
Membangun atmosfer ‘desa’ di kampus ini membutuhkan konsep desain kelembagaan yang jelas arah dan fokus aktifitas sasarannya bagi pendidik, mahasiwa, dan alumni agar lebih mendarat tak sekadar kelembagaan ‘papan nama’ yang cenderung terjebak cara pandangrutinitas semata (sebentar hidup sebentar mati suri), kelembagaan ini butuh komitmen dan kesadaran kolektif seluruh civitas akademika untuk berfikir besar agar substansi tujuan dan eksistensi kelembagaan punya kejelasan makna bagi peningkatan kualitas peran dan tanggung jawab kampus kepada rakyat luas.    
Terlebih dikaitkan dengan tantangan ke depan yang mau tak mau harus membuka diri dengan pasar global sekarang memasuki era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang membutuhkan jauh lebih banyak lahirnya wirausaha-wirausaha baru yang lebih handal dan kreatif untukmemperkuat produk-produk lokal agar mampu bersaing menghadapi serbuan produk asing yang saat ini saja sudah membanjiri dan mengancam pasar produk lokal. Jangankan terlalu muluk bicara ekspor karena untuk itu pasti lebih butuhkan padat modal dan teknologi (industri menengah dan besar), bagaimana agar produk-produk lokal kita jangan sampaitergerus saja sudah membutuhkan kerja keras yang serius dan komitmen tinggi dari seluruh komponen bangsa termasuklah peran kampus yang sangat penting.  
Eksistensi energi SDM yang berkelebihan di kampus ini perlu lebih dimaksimalkan oleh para elit dan seluruh civitas akademika kampus baik struktural dan fungsional (rektor dan jajaran struktural, dekan, dosen dan guru besar, lembaga-lembaga internal, mahasiswa dan ikatan alumni) agar proaktif merespon ekspektasi publik dengan turut terlibat berkontribusi langsung mengawal implementasi agenda pembaruan paradigma pembangunan (dari desa – kerakyatan) sebagai wujud nyata tanggung jawab moral, sosial, dan intelektual yang berarti pula sebuah ikhtiar bersama untuk menghindari - meminimalisir terpeliharanya proses pembiaran di negara ini.
Hadirnya Pusat Penelitian Pengembangan dan Pemberdayaan Desa (P4D) Untan yang dibentuk melalui SK Rektor Untan baru-baru ini sebagai wujud respon positif atas gagasan ini sekaligus angin segar bagi upaya memaksimalkan peran kontribusi perguruan tinggi untuk percepatan transformasi sosial ekonomi desa-desa di Kalbar, tinggal ditindaklanjuti dengan ramuan konsep peta jalan (road map) dan peta kerja (work map) sebagai agenda program kerja konkrit dengan pelibatan aktif seluruh unsur civitas akademika lintas disiplin keilmuan(internal) dan pihak eksternal serta bersinergi kokoh dengan pemerintah supra desa (pusat, pemprof, pemkab), semoga seluruh perguruan tinggi lain baik negeri dan swasta di Kalbar juga menyusul inisiatif kelembagaan yang sama substansinya, sebab bicara upaya percepatan perbaikan hidup rakyat banyak di desa jelas butuh perjuangan cukup berat dan konsisten dengan dikawal ‘energi’ SDM berkualitas yang cukup besar (jumlah desa di Indonesia 74 ribu, di Kalbar sekarang 2000 desa) maka butuh kerja-kerja fokus secara ‘keroyokan’(massif) dan saling bersinergi agar mampu menggerakkan potensi SDM dan SDA pedesaanlebih produktif sehingga proses transformasi sosial ekonomi pedesaan menemukan arah konseptual dan aplikasi yang lebih jelas dan terang bagi masa depan desa.  
Akhirnya, spirit Me-n‘desa’kan kampus dengan terus merawat atmosfer ide-ide kerakyatan dalam relasi sosial  kalangan intelektual  di kampus-kampus, dan Meng‘kampus’kan desa sebagai upaya memperkuat kapasitas SDM dan cara pandang obyektif, visioner, logis, kreatif, inovatif, dan produktif berfikir dan bertindak dalam relasi sosial di pedesaan, harus didorong menjadi sebuah gerakan sosial lebih massif dan konsisten jika kita  ingin mempercepat proses transformasi sosial – ekonomi – iptek untuk  menjadikan  desa-desa mampu  bergerak  lebih produktif (bukan hanya menjadi pasar - konsumtif) yang berdampak memperkokoh kemandirian bangsa. Produktif rakyat desa-desa, kokoh lah Indonesia.!

Muda Mahendrawan, SH
Pendiri Institut Indonesia Moeda, sehari-hari Notaris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar