Penulis MUDA MAHENDRAWAN, SH.
Pendiri Institute Indonesia Moeda
(Keterbukaan,
Ketepatan, dan Keadilan Akses Informasi)
“Bilamana
desa-desa telah memulai langkah menata dan mengembangkan Sistem Informasi Desa
yang terbuka, akurat, up date, dan berlangsung terus menerus, akses itu jadi
pintu awal yang baik bagi proses pengelolaan Keuangan dan Aset serta Tata
Kelola SDA (tata ruang desa) terkait agenda perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, evaluasi, pertanggungjawaban yang lebih tepat, partisipatif dan
berkeadilan untuk mengejar peluang percepatan pemenuhan hak dasar dan perbaikan
kualitas hidup rumah tangga di desa-desa”
UU Desa meski
telah memberi peluang bagi aparat pemerintah desa untuk menjalankan kewenangan
dalam menyusun perencanaan, penganggaran, pelaksanaan berdasarkan musyawarah
desa, namun tidak berarti semua itu sudah menjamin bahwa prosesnya pasti akan
berjalan lancar dan tidak menemui kendala bahkan tak jarang terjadi
penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan dan aset
desa serta tata kelola SDA di desa-desa.
Selama ini tak
jarang dalam proses pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa-desa yang
bersumber baik dari dana ADD, APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat, warga
desa tempat obyek lokasi pembangunan justru tidak mengetahui dari awalnya,
bahkan ada pula kegiatan pembangunan yang
tiba-tiba masuk di desa tanpa diketahui sebelumnya oleh warga desa karena
minimnya akses informasi. Sebenarnya bagi warga desa kegiatan pembangunan baik
fisik dan non fisik tentu sangat dibutuhkan apalagi yang menyangkut
infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sarana pendidikan, kesehatan,
sarana prasarana pertanian, air bersih, dan sebagainya. Namun disisi lain,
ketika informasinya kurang akan berakibat lemahnya partisipasi masyarakat dalam
pengawasan, bagaimanapun penerima manfaat pembangunan adalah warga masyarakat
desa itu sendiri, dan jika pengawasan lemah berpotensi penyimpangan dengan bermacam
modus baik kualitas, volume, dan target waktu kegiatan. Lebih ekstrim lagi, tak jarang juga ada
alokasi anggaran yang menjadi program kegiatan melalui SKPD atau Dinas tertentu
namun ternyata di lapangan tidak dikerjakan sama sekali sesuai mata anggaran,
belakangan baru diketahui ternyata modus penyimpangan dilakukan dengan
menduplikasi anggaran untuk 1 kegiatan yang sama obyeknya (2 pos anggaran untuk
1 kegiatan), atau jumlah satuan dan volume yang harus dikerjakan ternyata tidak
sesuai tapi anggaran untuk itu dicairkan seluruhnya (100%) sehingga terindikasi
ada kegiatan yang fiktif. Apapun modus penyimpangan penyebab utama karena lemahnya akses informasi ke warga desa.
Kembali pada
kewenangan desa yang telah diakui dalam UU Desa konsekuensinya desa berhak atas
anggaran yang cukup besar untuk dikelola sendiri. Di sisi lain, lahirnya UU Desa selama ini tergiring
opini yang terlalu terfokus pada gaung dana 1 milyar per desa sehingga bisa
berakibat munculnya sikap euphoria yang jika tidak diberikan pemahaman dan
persepsi yang tepat akan menimbulkan ekses negatif dan berpotensi terjadi
penyimpangan, apalagi kalau mental aparatur dan elit-elit desa tidak lebih dulu
dipersiapkan untuk menggeser pola pikir (mind set) dan pendekatan semata
sebagai pelayan masyarakat bukan lagi dengan pendekatan kekuasaan dari
kewenangan yang dimiliki oleh aparatur desa. Meskipun saat ini belum diketahui
pasti berapa anggaran dana desa yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang
mengingat kondisi keuangan negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat
karena subsidi BBM semakin besar.
Karena itu
seluruh elit dan warga desa perlu diberikan pemahaman dan persepsi yang benar
terkait dengan besarnya anggaran dana desa, jangan sampai warga desa hanya tau
besaran jumlahnya saja namun tidak memahami dari mana saja sumber keuangan desa
baik dari APBN dan APBD dan bagaimana sebenarnya alur proses kebijakan dan tata
kelolanya, apalagi kita pahami psikologi dan sosiologis di desa-desa yang
sangat sensitif terkait persoalan keuangan yang dikelola aparatur desa. Politik
lokal di desa justru lebih tajam dan rentan sehingga kesalahpahaman akibat
lemahnya informasi tak jarang membuat
suasana desa tak jarang menjadi kurang kondusif.
LANGKAH-LANGKAH PROAKTIF, FOKUS,
TAKTIS, dan SOLUTIF
Karena itu dari
sejak sekarang sebenarnya Aparatur Desa sangat perlu mendorong pengembangan dan
menata sistem informasi desa dengan langkah-langkah proaktif yang konkrit,
fokus dan taktis yakni :
Pertama, dimulai dari penyusunan kembali data base baik data monografi dan
demografi desa yang up date, valid dan akurat baik menyangkut kependudukan dan
data kemiskinan warga berdasarkan tiap keluarga sebagai bahan untuk meramu
kebijakan perencanaan dan penganggaran agar tepat sasaran dan tidak mubazir. Termasuk
data base lainnya yang dibutuhkan untuk disatukan ke dalam sebuah sistem
informasi berbasis teknologi informasi (TI) untuk mempermudah cara kerja
pemerintah desa dalam memperbaiki pelayanan publik, setidaknya dalam RPJMDesa
dan RKP Desa harus telah dimuat program kegiatan untuk pengembangan Sistem Informasi Desa berbasis Teknologi Informasi.
Saat ini banyak pihak mendesain sistem aplikasi berbasis TI untuk pengembangan
Sistem Informasi Desa, baik pelayanan administrasi desa sehari-hari, sistem
aplikasi TI Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa serta tata kelola SDA baik dalam
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban. Seperti best practice yang dikembangkan Gerakan Desa
Membangun (GDM) untuk desa-desa di Jawa, (catatan : Institut Indonesia Moeda
saat ini juga masih sedang dalam proses menyiapkan pengembangan aplikasi sistem
informasi desa berbasis TI ini).
Pengembangan
Sistem Informasi Desa berbasis TI ini akan lebih efektif dalam membangun sistem
sekaligus membentengi atau mempersempit ruang dan peluang penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan dan aset serta tata kelola SDA (tata ruang desa), mengapa
? karena selain memudahkan efektifitas kerja dalam penyusunan rancangan
perencanaan sampai pertanggungjawaban juga akan lebih menjamin upaya
keterbukaan (transparansi) dari seluruh alur proses kebijakan dan bisa
meningkatkan kontrol pengendalian internal yang lebih efektif dan efisien.
Untuk desa-desa yang sudah bisa akses jaringan internet pengembangan sistem
aplikasi untuk administrasi juga disertai dengan pembangunan website Desa.
Aplikasi Sistem Terpadu Adminitrasi Desa berbasis TI bisa disiapkan dan
didesign untuk meng-input seluruh data-data based baik monografi, demografi ,
data kemiskinan, data pemerintah desa, data kegiatan ekonomi masyarakat dan
perusahaan, data pendidikan dan kesehatan, data infrastruktur sarana prasarana,
data pertanahan menyangkut kepemilikan SPT atau Sertifikat (sekaligus
menertibkan administrasi penerbitan SKT/SPT untuk meminimalisir kasus tumpang
tindih kepemilikan tanah/lahan yang semakin marak terjadi di berbagai desa) dan
penguasaan tanah/lahan oleh perorangan atau korporasi (HGU), termasuk jika
telah disusun draft rancangan Tata Ruang Desa yang mencakup peruntukan dan
pemanfaatan lahan dan hutan termasuk data kawasan APL, kawasan hutan lindung,
HP, HPT, HPK, HTI, HTR, Hutan Desa – Hutan Adat (jika telah ditetapkan), Taman
Nasional, Kawasan Strategis Kabupaten/Provinsi dan kawasan lainnya, data
kelompok petani, nelayan, pedagang, buruh, data TKI dari desa, dokumentasi
Peratura Desa, Peraturan Kepala Desa, SK Kades, Data Administrasi BPD, Berita
Acara Musyawarah Desa, Perdes RPJMDesa, Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP)
Desa, bahkan untuk keterbukaan memuat pula RAPBDesa dan APBDesa yang telah
ditetapkan, termasuk menginput data
seluruh program kegiatan yang masuk ke desa (baik fisik maupun non fisik) yang
bersumber dari dana APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat pada tahun
berjalan, tentu akan merangsang partisipasi masyarakat aktif mengawasi kegiatan itu.
Kedua, pengembangan Sistem Informasi Desa sebenarnya lebih diutamakan
untuk merangsang munculnya SDM para pelaku informasi baik melalui media cetak,
media komunikasi radio, maupun media sosial di pedesaan. Saat ini telah banyak
juga Best Practice yang dilakukan kelompok masyarakat melalui dampingan
pekerja/pegiat sosial (NGO’s) baik melalui aktifitas pendirian Radio-Radio
Komunitas, media tabloid desa, media sosial desa yang semakin berkembang. Mengingat masih banyak desa-desa yang sulit mengakses
informasi karena kondisi geografis maka keberadaan Radio Komunitas desa dengan
sendirinya akan menjadi langkah taktis dalam membuka akses informasi ke warga
masyarakat desa terhadap segala aktifitas dan perkembangan desa dari hari ke
hari dan segala informasi yang bermanfaat bagi pencerahan warga desa. Bahkan
dalam momen atau agenda-agenda pemerintah desa sekalipun misalnya dalam
Musyarawah Desa dan hasil-hasil yang disepakati bisa dipublikasikan. Untuk ini
dibutuhkan upaya merangsang aktifitas Jurnalisme
Warga yang dilatih ketrampilannya untuk melakukan, mengakses, dan mempublikasi
informasi. Skema aktifitas lain yang sekarang juga banyak dikembangkan misalnya
SMS Gateway yang lebih memberikan jaminan akses informasi lebih cepat dan terkini
kepada seluruh warga desa terhadap informasi yang bersifat mendesak, darurat
dan strategis, misalnya informasi untuk mengundang warga desa secara efektif,
informasi kejadian atau peristiwa misalnya ancaman bencana banjir, longsor, kebakaran, tindak kejahatan misalnya KDRT, warga sakit
mendadak, ini juga sekaligus menjaga budaya kebersamaan, gotong royong dan
kepedulian sosial satu warga dengan lainnya yang perlu dipertahankan karena
sudah mulai terkikis sebagai dampak langsung dari modernisasi dan teknologi. Aktifitas
kerja-kerja sosial, pemberdayaan dan dampingan pelatihan jurnalis warga,
pengembangan radio-radio komunitas dan media desa lainnya kepada kelompok-kelompok
organisasi rakyat (OR) di berbagai desa sebetulnya ibarat embrio yang telah siap untuk bersama-sama dengan Aparatur Desa
sebagai subyek pelaku yang mendorong pengembangan Sistem Informasi Desa.
Gagasan Kelompok Kerja Informasi Desa
(KKID)
Dari kedua
langkah diatas sebagai tindak lanjutnya untuk upaya menjamin dan memastikan
keberlangsungan serta keberlanjutannya perlu kiranya dipertimbangkan untuk diwujudkan
(langkah rekayasa sosial) menjadi sebuah kelembagaan cukup strategis di
desa-desa sebagai langkah terobosan yang inovatif dan solutif yakni Ketiga, Pemerintah Desa perlu
mendorong SDM yang ada di desa tersebut untuk mengembangkan Sistem Informasi
Desa agar dapat terkawal dan terpelihara secara terus menerus, sebab SID tak
akan terbangun dan terkawal dengan baik tanpa
SDM yang punya kemauan dan daya juang tinggi sebagai pelaku informasi di
desa, diawali dengan inisiatif untuk mendorong dan mendukung agenda-agenda
seperti pelatihan ketrampilan komputer dan IT, pelatihan penyusunan data base
desa, pelatihan jurnalis warga yang diikuti pula oleh perangkat desa dan para
pemuda pemudi di desa sekaligus sebagai ruang aktualisasi positif bagi kalangan generasi muda di desa.
Sebabnya kalau pemerintah desa hanya mengandalkan tenaga SDM dari luar desa
saja maka akan sulit nantinya untuk memelihara,merawat, dan mengawal sistem
informasi itu dapat berjalan dan dikembangkan seterusnya.
Maka salah satu
inisiatif dan gagasan terobosan (inovatif) yang bisa menjadi solusinya perlu upaya
rekayasa sosial terbentuknya kelembagaan
misalnya membentuk Kelompok Kerja Informasi Desa. Kelembagaan ini diberikan
peran terdepan dalam menghimpun, mengelola dan mendistribusikan informasi yang
dibutuhkan warga desa dan terus merekam, meng input, mengawal hari ke hari
setiap perkembangan dan peristiwa yang perlu diketahui oleh warga terkait
langsung dengan penyelenggaraan pemerintah desa, proses pembangunan, proses
pemberdayaan dan pembinaan masyarakat desa. Pembentukan kelembagaan ini juga
perlu didukung penuh dengan legitimasi dari Kepala Desa bersama BPD melalui
Peraturan Desa atau setidaknya melalui Peraturan Kepala Desa agar kedepannya
bisa didukung sebagai salah satu program kegiatan yang diakomodir melalui
RPJMDesa (revisi), RKP Desa dan APBDesa. Kepala Desa bersama Ketua BPD menjadi
penasehat/pengarah, sementara rekruitmen kepengurusan diambil dari para pelaku
informasi di desa termasuk pula perangkat desa jadi struktur pengurus, karena
berkaitan erat dengan penghimpunan dan pengelolaan data base desa, pelayanan
administrasi desa, tata kelola keuangan dan aset desa juga tata kelola SDA. Kelompok
Kerja Informasi Desa ini juga sebenarnya akan menjadi strategis dan diperlukan
oleh pemkab-pemkab karena justru akan mengefektifkan kinerja pemkab dalam relasi
timbal balik arus lalu lintas informasi yang selalu up date antara desa-desa
dan pemkab sendiri, maka perlu didukung untuk mulai dirancang pula program
kegiatan melalui Dinas terkait (Kominfo dan Bappeda) dengan sasaran menjadikan
minimal 1 desa tiap kecamatan jadi pilot project sistem informasi desa untuk
percontohan bagi desa-desa lainnya ke depan. SKPD bisa memanfaatkan pula tenaga
sarjana-sarjana asal desa untuk menjadi pendamping khusus program sistem
informasi desa. Kelompok Kerja Informasi Desa inilah yang diberikan peran dan
tanggungjawab serta kewenangan untuk menata, mengawal serta merawat Sistem
Informasi Desa yang telah dibangun dan dikembangkan, baik dalam bentuk sistem
aplikasi IT untuk pelayanan administrasi pemerintah desa, media website, media
radio komunitas, media seluler (sms gateway), dan media cetak (misalnya ada
buletin atau tabloid desa). KKID ini juga yang akan terus menerus meng up date
informasi dari pemerintah supra desa
untuk disajikan secara terbuka kepada seluruh warga desa dan diberi tugas meng
input hari ke hari perubahan data base yang ada dalam sistem aplikasi pelayanan
administrasi desa berbasis IT bila telah diaplikasikan oleh pemerintah desa.
KKID juga diberi peran untuk mengejar,
mengakses dan menghimpun data-data based
yang telah ada atau pernah disusun melalui program kegiatan di SKPD-SKPD
kabupaten (Bapeda dan lainnya) maupun di BPS (sebagai pembanding) untuk
disesuaikan dan divalidasi kembali, termasuk hasil-hasil assessment, survey,
atau penelitian yang dijalankan oleh berbagai lembaga baik perguruan tinggi
atau NGO’s di desa bersangkutan agar tak cuma jadi koleksi yang mubazir karena
tak termanfaatkan sehingga bisa dikodifikasi menjadi kesatuan data based desa
yang lengkap dan mudah diakses.
Kita memahami untuk mewujudkan pengembangan
Sistem Informasi Desa tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, perlu
proses waktu sambil berjalan dan membangun kesamaan persepsi terlebih dahulu
oleh aparat dan elit-elit desa dan semua kelompok pemangku kepentingan di
desa, namun setidaknya desa-desa dari
sekarang telah mulai menjadikannya sebagai
arah kebijakan yang cukup strategis dan mendasar dalam RPJMDesa (revisi)
agar menjadi program kegiatan dalam kebijakan ke depan. Perlu menjadi catatan
penting, bahwa maju mundurnya desa, hitam putih nya perkembangan desa akan
sangat signifikan dipengaruhi oleh faktor leadership (kepemimpinan) di
pemerintahan desa (Kades bersama BPD) dan berikutnya faktor kemauan untuk
membangun sistem pemerintahan desa yang
terbuka dan penuh tanggung jawab. Maka penataan dan pengembangan Sistem
Informasi Desa ini akan menjadi bukti awal yang nyata adanya itikad baik dari
Aparatur Desa (Kades bersama BPD) untuk pemberdayaan
masyarakat desa secara terbuka (sesuai spirit UU Keterbukaan Informasi Publik) sebagai
prasyarat utama untuk meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat agar
agenda pembaharuan desa bisa terkawal
optimal sesuai tujuan dan semangat lahirnya UU Desa