MUDA
MAHENDRAWAN
Pendiri
Institut Indonesia Moeda - sehari-hari profesi Notaris & PPAT
“Keterwakilan
perempuan untuk turut terlibat aktif berkontribusi dalam pengambilan kebijakan
publik di musyawarah desa menjadi penting dan strategis agar arah kebijakan dan
program kegiatan lebih fokus dan konsisten pada upaya pemenuhan hak-hak dasar rakyat
untuk percepatan pengurangan rumah tangga sangat miskin yang sebagian besar
(70%) di pedesaan”
Fakta berbicara
selama ini partisipasi atau representasi perempuan untuk turut terlibat dalam
pengambilan keputusan publik dan mempengaruhi arah kebijakan di desa masih rendah.
Kenyataan ini mengakibatkan posisi perempuan - terlebih yang sangat miskin - semakin
tersudutkan dan sangat rentan, dimana proses marginalisasi – subordinasi –
beban ganda – kekerasan dan stereotip negative masih terus berlangsung yang
membutuhkan pemahaman dan perhatian lebih fokus dari semua pihak.
Meskipun
sejak era reformasi telah terjadi proses pergeseran kewenangan desentralisasi
dengan otonomi daerah berada di kabupaten dan kota namun peluang untuk memaksimalkan
peran perempuan dalam mempengaruhi langsung kebijakan pubik masih rendah,
apalagi di pedesaan upaya itu menghadapi berbagai tantangan dan kendala tidak ringan.
Masih butuh proses perjuangan cukup gigih, konsisten dan fokus untuk
terbangunnya kesamaan persepsi dan pemahaman lebih luas serta sikap bijak aparatur
dan elit desa terhadap prinsip dan spirit
keadilan gender, termasuk masih perlu kerja keras untuk menyadarkan
kalangan perempuan sendiri untuk tidak membiarkan dan turut terjun langsung
mengawal proses pengambilan kebijakan publik dan berjuang menyuarakan pemenuhan
hak-hak dasar (ekosob) bagi keluarga miskin di pedesaan.
Jika memotret
indikator kemiskinan, problem mendasar yang jadi akar persoalan kemiskinan dan signifikan
berpengaruh pada IPM yakni rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan keluarga,
mulai dari masih tingginya angka kematian ibu, bayi, balita akibat kelahiran
atau penyakit menular mematikan (diare, dll), angka gizi kurang dan gizi buruk,
angka harapan hidup, tingginya angka buta huruf dan putus sekolah (apk-apm),
selain indikator kemiskinan lainnya (sesuai standart MDG’s). Indikator
kesehatan dan pendidikan keluarga tentu sangat lekat dengan peran orang tua
terutama peran ibu, maka pengaruh perempuan akan signifikan menentukan
indikator kemiskinan keluarga, karena rentan dan langsung merembet pula pada kondisi anak-anaknya,
terlebih perempuan miskin yang sedang mengandung seringkali jadi ancaman anaknya
lahir dalam kondisi gizi kurang, gizi buruk dan rentan penyakit. Fakta
menunjukkan kematian ibu dan atau bayi
ketika melahirkan sebagian besar dialami keluarga miskin, lebih rentan mendesak
juga perempuan yang sekaligus berperan sebagai kepala keluarga akibat kematian
suami, perceraian, atau berpisah karena suami harus merantau cari kerja sangat
jauh.
Maka tak dibantah
peran perempuan cukup strategis dalam mengawal kualitas hidup tiap rumah
tangga, ibarat hitam putih dan gelap terang kondisi rumah tangga signifikan
dipengaruhi peran perempuan, secara kodrati dan dalam fokus keseharian tentu lebih
memiliki kekuatan kepekaan menyentuh langsung
pusaran akar persoalan kemiskinan yang menentukan kualitas dan masa depan generasi anak-anaknya. Karena itu secara
empiris di berbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia, daerah-daerah yang ruang partisipasi perempuan
sudah semakin terbuka (bukan maksudnya dominan) untuk berperan aktif
menyuarakan dan mempengaruhi kebijakan publik, kualitas hidup rata-rata rumah
tangganya cenderung meningkat lebih baik. Bahkan peran perempuan dalam
memperjuangkan perdamaian dan memerangi berbagai bentuk kekerasan pun sudah
semakin teruji dan terbukti. Peraih nobel perdamaian dunia beberapa tahun
belakangan ini berturut-turut dianugerahkan kepada tokoh-tokoh perempuan dari
berbagai negara (negara miskin). Ini bukti peran perempuan sangat signifikan
mampu menjadi perekat perdamaian antar warga masyarakat yang terlibat konflik berkepanjangan
(fisik dan psikis) karena perbedaan daerah asal usul, suku, ras, agama, dan
adat budaya, terlebih di pedesaan yang juga rentan terhadap konflik horizontal
akibat akses informasi dan transportasi sangat sulit dijangkau. Fakta mencatat
hampir setiap hari terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun
mental, terutama terhadap isteri dan anak-anak, dan sebagian besar justru
terjadi di lingkungan keluarga miskin sebagai ekses himpitan hidup sehari-hari
yang akibatkan frustrasi sangat mudah
menyulut tindakan emosional.
Peluang Pasca UU Desa
Bagaimana
peluang memaksimalkan peran perempuan (bukan mendominasi) dalam proses
pengambilan kebijakan publik di pedesaan pasca lahirnya UU Desa ? UU Desa menjadi
momentum penting karena pengakuan kewenangan desa telah melegitimasi desa
sebagai entitas yang tak lagi sekadar obyek pembangunan dan hanya jadi
subordinat dari pemerintahan di atasnya seperti selama ini melainkan subyek
pembangunan, maka implementasi UU Desa kelak akan membuat musyawarah
perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) tak lagi seolah formalitas belaka
seperti dulu, karena aparatur bersama seluruh elemen pemangku kepentingan di
desa bisa mengambil keputusan bersama yang ditetapkan dalam APBDesa untuk
dilaksanakan dan direalisasikan. Maka
musyawarah desa jadi agenda wajib yang harus melibatkan seluruh stake holder
desa.
Dalam
UU Desa berikut peraturan pelaksanannya melalui PP 43 Tahun 2014 dan PP 60
tahun 2014 secara tersurat dan tersirat telah memuat dan menegaskan regulasi, prinsip
dan semangat keadilan gender dan atau keterwakilan perempuan untuk
diimplementasikan baik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa. Beberapa ketentuan yang secara tersurat
menegaskan misalnya dalam PP 43/2014 pasal 71 tentang pengisian anggota BPD,
pasal 80 tentang Musyawarah Desa, pasal 121 tentang Pelaksaaan Pembangunan
Desa, pasal 144 tentang Badan Kerjasama Desa. Terlepas dari pengaturan dalam pasal-pasal
tersebut, namun terpenting bahwa semua pihak menyadari semangat lahirnya UU Desa untuk memberi
peluang keadilan bagi rakyat yang sebagian besar hidup di pedesaan, setidaknya
bagi aparatur dan seluruh pemangku kepentingan desa mulai berupaya membangun
kesamaan cara pandang terhadap perlibatan perempuan (lebih proporsional) mulai
dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan,evaluasi,
pertanggungjawaban. Diharapkan arah kebijakan akan fokus mengutamakan pada
program kegiatan yang langsung
bersentuhan dengan upaya pemenuhan hak dasar terutama perbaikan kondisi kesehatan dan pendidikan
tiap keluarga (pangan,gizi,kematian ibu bayi dan balita,ancaman putus sekolah,
dan pemberdayaan perempuan agar produktif).
Strategi Memaksimalkan Perlibatan Perempuan
Karena
UU Desa berikut PP nya telah jelas menegaskan prinsip dan semangat keadilan
gender dan atau keterwakilan perempuan sehingga peluang partisipasi lebih
terbuka secara proporsional untuk turut andil dan mempengaruhi pengambilan
kebijakan publik di desa. Agar langkah ke arah itu bisa konsisten terbangun
maka untuk itu setidaknya dibutuhkan berbagai strategi dan langkah konkrit dari
semua pihak baik aparatur desa, jajaran pemkab, dan terutama kelompok perempuan
sendiri antara lain : Pertama, Mendorong upaya lebih
maksimalnya peluang akses informasi terhadap seluruh perkembangan proses tata
kelola pemerintahan desa dengan ikut mendorong langkah menata dan mengembangkan
sistem informasi desa (misalnya turut aktif dalam penyusunan data based desa,
pengembangan radio komunitas warga, proaktif ikut pelatihan jurnalis warga,
mendesain sms gateway seperti best practice nya serikat pekka). Kedua, Mendorong perlibatan di
musyawarah desa lebih maksimal perlu diupayakan untuk memperbanyak representasi
(keterwakilan) dari berbagai kelompok perempuan berbasis komunitas di desa.
Misalnya selama ini perempuan di desa lebih banyak hanya terlibat di komunitas
Kelompok PKK desa, kader posyandu, tutor PAUD, organisasi serikat perempuan di
desa, kelompok pengajian perempuan, kelompok do’a, kelompok seni budaya
(qasidah dll), komunitas pengrajin, maka ke depan perlu lebih diperbanyak
menjadi keterwakilan komunitas pedagang kecil di pasar desa juga ada keterwakilan
yang dari kelompok perempuan, komunitas koperasi simpan pinjam ada keterwakilan
dari perempuan, komunitas petani juga ada keterwakilan dari petani perempuan, dan
komunitas lain yang bisa memaksimalkan peran turut menyuarakan dalam tiap
agenda musyawarah desa (implementasi
pasal 18 PP 43/2014). Ketiga, Mendorong
keterwakilan perempuan untuk turut masuk menjadi anggota BPD sesuai dengan
semangat pasal 72 PP 43/2014, setidaknya dari keseluruhan anggota BPD juga ada keterwakilan
perempuan (tentu yang punya kapasitas) dengan jumlah yang proporsional, karena
faktanya di berbagai desa setakat ini jumlah perempuan yang jadi anggota BPD
masih sangat minim bahkan banyak pula desa yang
anggota BPD nya sama sekali tak ada dari perempuan. Mengingat dalam UU
Desa anggota BPD telah semakin dipertegas peran dan kewenangannya dalam
pengambilan kebijakan publik terkait seluruh proses tata kelola pemerintahan
dari mulai mengajukan, membahas dan menyetujui kebijakan publik, dan melakukan
pengawasan serta evaluasi kinerja hingga pertanggungjawaban pemerintah desa.
Jumlah anggota BPD umumnya ganjil (5,7,9) sesuai jumlah penduduk dan kebutuhan
desa. Keempat, perlu aktif menggelar dan atau mengikutsertakan kader-kadernya
dalam berbagai pelatihan agar punya kapasitas ketrampilan dan pemahaman terkait
misalnya tentang alur proses kebijakan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan
dan aset (RPJMDesa,RKPDesa, APBDesa) dan tata kelola SDA (tata ruang desa),
tata cara penyusunan perdes, pelatihan aplikasi sistem pelayanan administrasi
desa berbasis IT, dan pelatihan ketrampilan lainnya yang dibutuhkan sebagai
pengetahuan dasar untuk terlibat aktif dalam menyuarakan kepentingan warga desa
dalam musyawarah desa. Kelima, Mendorong gerak perempuan di
desa untuk mulai menguatkan isu-isu produktif dalam upaya mewujudkan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan perempuan ikut terlibat menjadi bagian dari
inisiator dan struktur pengurus BUMDesa sebagai lembaga ekonomi desa yang
berpeluang meluaskan kegiatan ekonomi warga terutama mengambil peluang
pemberdayaan ekonomi perempuan dari berbagai komunitas di desa. Keenam, dari sejak sekarang baik
aparatur desa dan para pemangku kepentingan terutama kader pegiat dari kelompok
perempuan agar mendorong kalangan perempuan desa terdidik
(sarjana D-3 dan S-1) untuk juga dipersiapkan menjadi cikal bakal tenaga pendamping desa
yang profesional ke depan. Dalam PP 43/2014 ditegaskan arah ke depan bahwa tiap desa akan
dibutuhkan tenaga pendamping profesional yang memiliki sertifikasi dengan
kompetensi dan kualifikasi tertentu (baca pasal 128 – 131 PP 43/2014). Dalam
tulisan lalu (bagian 4) penulis menyarankan Pemkab-pemkab sebenarnya bisa proaktif mendesain program tenaga
pendampingan desa dari generasi muda terdidik (sarjana asal desa kembali
mengabdi ke desa).
Butuh
Komitmen Serius Pemerintah Supra Desa
Sebagaimana
penulis sampaikan sebelumnya, Implementasi UU Desa jelas tak hanya menuntut
kesiapan dari aparatur desa saja, melainkan justru peran dan kesiapan aparatur
jajaran pemerintah kabupaten karena sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi
daerah pemkab langsung bertanggung jawab untuk melakukan supervisi, pembinaan
dan pengawasan terhadap pemerintahan desa, maka dalam kaitan dengan peluang
untuk memaksimalkan ruang partisipasi perempuan di desa sangat membutuhkan
dukungan dan komitmen kuat serta sungguh-sungguh dari pemkab melalui SKPD-SKPD di
jajaran birokrasi dalam menyusun perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan
pembangunan yang lebih responsif gender dan memberi peluang bagi upaya
perlibatan perempuan lebih proporsional. Untuk memaksimalkan 6 langkah strategi
diatas dalam menyambut implementasi UU Desa ke depan, pemkab-pemkab juga perlu
proaktif menjalin komunikasi untuk kerjasama bersinergi dan berkolaborasi dengan
berbagai pegiat/aktifis sosial (NGO’s) yang selama ini fokus pada isu-isu pemberdayaan/perlindungan
perempuan dan keluarga, seperti (di kalbar) Serikat Pekka, PPSW, Alpekaje, LBH-PIK,
YSDK, WVI, Diantama dll, juga Fasilitator/Pendamping PNPM Generasi di tiap
kabupaten, agar Best Practice’s dari inisiatif yang sudah dijalankan selama ini
di berbagai desa melalui masyarakat dampingan dapat diadopsi dan dikembangkan (direplikasi)
lebih luas di desa lainnya. Pemkab melalui SKPD-SKPD terkait (Badan Pemdes, Bappeda,
Badan Pemberdayaan Keluarga dan KB, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas
Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Perikanan, Peternakan, Camat dan stafnya) perlu
kerja keras lebih intensif menanamkan kesamaan persepsi dan pemahaman kepada
seluruh aparatur, elit-elit dan para
pemangku kepentingan desa terhadap penting dan strategisnya peran dan perlibatan
perempuan lebih proporsional dalam proses pengambilan kebijakan publik di
desa-desa, komitmen ini perlu dijalankan dengan
konkrit,sungguh-sungguh,berkelanjutan, tak sekadar kamuflase dan formalitas belaka.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar