MUDA MAHENDRAWAN, SH. (Seri Menyiapkan Desa Bagian 4 )
Pendiri
Institut Indonesia Moeda - profesi sehari-hari Notaris dan PPAT
“Mengingat
jumlah dan letak geografis desa-desa yang tersebar luas, Pemkab tentu sulit
untuk melakukan supervisi yang intensif dan rutin hari ke hari, maka dibutuhkan
tenaga pendamping desa dari pemudi pemuda terdidik (sarjana) untuk dilatih dan diberi
peluang turut terlibat membantu kelancaran sekaligus meminimalisir resiko
kekeliruan atau penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan dan aset,
serta tata kelola SDA di desa”
UU Desa berikut peraturan
pelaksanaanya telah membuka peluang dan harapan besar untuk mempercepat upaya
pengurangan kemiskinan dan pengangguran demi perbaikan kualitas hidup dan
memperkecil kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan agar lebih berkeadilan.
Di sisi lain, kehadiran UU Desa juga membawa konsekuensi dan tantangan yang
tidak sedikit untuk mengimplementasikannya secara optimal. Namun bagaimanapun
juga seluruh pihak terutama aparatur pemerintah desa bersama seluruh pemangku
kepentingan yang ada di desa-desa harus berupaya bekerja keras dan berjibaku
menggerakkan semangat warganya untuk mengawal agenda pembaharuan desa ini
jangan sampai ke depan justru banyak memunculkan
persoalan baru yang tidak diharapkan. Karena kewenangan desa yang telah terlegitimasi
melalui UU Desa ini tentu memiliki konsekuensi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Maka penguatan
kapasitas dan orientasi yang fokus pada pelayanan publik dari aparatur desa
menjadi sebuah keniscayaan, dan terpenting ada kesadaran kolektif dari seluruh
aparatur desa untuk menyiapkan diri memperkuat kompetensi dan menggeser pola
pikir serta pendekatan dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Namun tentu semua itu butuh proses
waktu dan tidak bisa serta merta sesuai harapan, setidaknya harus melalui
proses sambil berjalan (learning by doing) melakukan perbaikan demi perbaikan
dalam menjalankan tata kelolanya.
Tantangan
Implementasi UU Desa
Dalam konteks
kewenangan desa yang semakin mendapat pengakuan melalui UU Desa untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri, namun kita sadari semua tidaklah bisa langsung
berjalan lancar dan optimal, apalagi ketika UU Desa dibahas dan disahkan oleh Pemerintah
bersama DPR-RI gaung isunya terfokus pada jumlah anggaran dana desa yang cukup
besar, yaitu gaung dana 1 Milyar tiap desa, padahal substansi UU Desa tak hanya
sebatas pada soal besaran uang yang akan mengalir ke kas desa melainkan banyak
substansi lain yang menjadi prinsip dan aspek lain untuk mengejar keadilan
sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Namun semua itu wajar, disebabkan selama
ini desa-desa seolah belum sebagai Subyek pembangunan, sehingga semua proses
perencanaan dan kebutuhan prioritas desa hanya untuk diusulkan ke pemerintah supra
desa sedangkan pemerintah desa tidak punya kewenangan memutuskan sendiri dan
mengatur sendiri, jadi desa seolah hanya menunggu saja apa yang akan dibangun
di desa-desa. Kalaupun dalam 7 tahun ini ada dialokasikan ADD namun jumlahnya
masih kecil dan hanya mampu membiayai sangat sedikit item-item belanja desa
untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,
sehingga sangat jauh dengan kebutuhan dasar masyarakat yang mendesak untuk bisa
direalisasikan. Meski saat ini belum diketahui pasti berapa anggaran dana desa
yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang mengingat kondisi keuangan
negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat karena subsidi BBM semakin
besar.
Namun terlepas
dari hal itu, bercermin dari perjalanan empiris ketika dimulainya era Otonomi
Daerah sejak 1999 lalu, tak terelakkan munculnya euphoria dari elit-elit di
daerah yang kemudian berdampak banyak persoalan hukum yang muncul, baik di
lingkungan eksekutif maupun legislatif di berbagai kabupaten/kota dan provinsi
di Indonesia, kondisi ini tentu juga menjadi salah satu faktor penghambat serius
bagi kelancaran pembangunan di daerah-daerah, bahkan seringkali pula berdampak
pada situasi sosial dan politik yang kurang kondusif di daerah-daerah.
Lalu bagaimana
dengan dampak implementasi kewenangan desa dalam UU Desa terhadap potensi penyalahgunaan
dan persoalan hukum ke depan ? mengingat perjalanan otonomi daerah untuk
pemerintah supra desa (kabupaten, provinsi) saja yang telah memiliki birokrasi
terlatih dari kalangan PNS dan tentu sudah memiliki kompetensi lebih daripada
aparatur desa ternyata di berbagai daerah banyak pula terjerat persoalan hukum,
lalu bagaimana dengan desa-desa yang jumlahnya
se-Indonesia 73 ribu saat ini apalagi dengan wilayah desa yang menyebar luas
bahkan sampai ke pelosok-pelosok pesisir dan pedalaman sehingga sangat sulit
untuk melakukan pembinaan dan supervisi sehari-harinya, bagaimana langkah solusi
untuk meminimalisirnya ?
Langkah Proaktif
Rekruitmen Tenaga Pendamping Desa
Karena itulah UU
Desa dan PP 43/2014 telah mengatur terkait pentingnya peran Tenaga Pendamping
Desa yang profesional (pasal 128 – 131), meskipun sebenarnya seluruh jajaran
pemkab melalui SKPD/Dinas secara otomatis berperan sebagai pendamping desa,
namun mengingat desa-desa itu wilayahnya menyebar dan sangat sulit untuk
melakukan pendampingan secara intensif dan efektif, maka lebih dibutuhkan
Tenaga Pendamping Desa Profesional yang bisa melakukan pendampingan sehari-hari
bagi aparatur pemerintahan desa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya,
setidaknya melalui kehadiran tenaga pendamping desa diharapkan bisa mengawal
langsung dan meminimalisir kekeliruan yang fatal bagi aparatur desa, terutama
namun tidak terbatas hanya soal alur proses dan kebijakan dalam tata kelola
keuangan dan aset desa serta tata kelola SDA. Dalam PP 43/20014 tenaga
pendamping desa disyaratkan memiliki kapasitas yang mumpuni, dan melalui
sertifikasi kompetensi dan kualifikasi tenaga pendamping. Bagaimana pola mekanisme rekruitmen tenaga
pendamping desa ke depan ?
Terkait hal ini
memang belum ada kejelasan karena masih menunggu pengaturan selanjutnya yang akan langsung di bawah
koordinasi kementrian pedesaan (menteri desa, daerah tertinggal dan transmigrasi)
sebagai kementrian baru di kabinet saat ini bersama-sama kementrian dalam negeri.
Oleh karena itu
pemerintah kabupaten sebaiknya bersikap proaktif dan tak hanya menunggu.
Bagaimanapun pemerintah kabupaten berperan terdepan sebagai pembina yang bertanggung
jawab untuk melakukan supervisi kepada desa-desa, apalagi perjalanan
implementasi UU Desa ini secara langsung akan menjadi cerminan dan potret
bagaimana tata kelola pemerintah kabupaten sendiri. Jika berjalan optimal maka
otomatis akan berdampak pula percepatan capaian sasaran dan target pembangunan,
sebaliknya jika tak optimal dan banyak muncul persoalan akan langsung berdampak
pada lambatnya proses capaian sasaran pembangunan. Selain itu jika kita melihat
ketersediaan tenaga pendamping desa sesuai dengan yang disyaratkan dalam
ketentuan PP 43 itu tentu masih terbatas jumlahnya, karena pihak yang lebih
siap dari sisi kompetensi untuk melakukan pendampingan yakni pelaku atau pegiat
fasilitator dan pendamping PNPM Mandiri Pedesaan karena selama ini fokus
menjalankan pendampingan kepada desa-desa. Akan tetapi jumlah fasilitator dan
pendamping PNPM se Indonesia totalnya sekitar 12 ribu saja, sementara jumlah desa hampir 73
ribu, setidaknya tiap desa minimal 1
tenaga pendamping desa.
Maka solusinya tentu
perlu langkah proaktif dan inisiatif dari Pemkab-Pemkab untu melakukan rekruitmen tenaga pendamping
desa melalui SKPD Badan Pemdes sebagai SKPD yang tepat untuk mengelola program
kegiatannya. Paling tidak minimal tamatan D-3 dan S-1 dan lebih diutamakan yang
berasal dari daerah setempat (tidak mutlak). Program ini juga akan langsung
berdampak positif karena akan memberdayakan banyak para sarjana lulusan D-3 dan
S-1 asal kabupaten tersebut yang saat ini masih banyak juga yang belum mendapat
peluang pekerjaan, paling tidak sarjana asal kecamatan atau desa setempat juga
bisa kembali mengabdikan dirinya di kecamatan atau desa asalnya, sehingga akan
mengurangi pengangguran terdidik yang semakin hari semakin besar kuantitasnya,
seperti di kalbar saja misalnya tiap tahun ribuan sarjana lulus dari perguruan
tinggi namun peluang aktifitas pekerjaan sektor formal sangat terbatas baik pegawai
swasta apalagi PNS, banyak sarjana yang sebenarnya ingin kembali mengabdikan
diri ke kampung asalnya namun terbentur kecilnya peluang kerja yang tersedia.
Meski demikian
rekrutmen sarjana untuk menjadi tenaga pendamping desa tetap kedepankan syarat
memiliki kompetensi dan ketrampilan dengan standar tertentu melalui pola
pelatihan yang benar-benar fokus minimal pemahaman dan ketrampilan dasar untuk
tata kelola administrasi, keuangan aset desa, dan tata kelola SDA, apalagi para
sarjana sekarang hampir semua mampu gunakan IT karena tuntutan jaman, sehingga
juga bisa mengawal upaya membangun sistem informasi desa berbasis IT baik
menyusun dan input data base dan semua proses perencanaan sampai pelaporan dan
pertanggungjawaban. Maka harus diberikan terlebih dahulu pelatihan yang fokus
(misalnya selama 1 bulan) sebelum diterjunkan melakukan pendampingan di desa
tempat penugasannya dan sambil berjalan secara periodik setiap 3 bulan sekali perlu
diberikan penguatan terus agar bisa lebih fokus, sekaligus sebagai bahan
masukkan dan evaluasi terkait dengan segala kendala dan tantangan yang
ditemukan untuk dicarikan solusinya, karena para tenaga pendamping desa itu
juga ibarat kepanjangan tangan dari Pemkab untuk membantu desa-desa agar proses tata kelola pemerintahan bisa berjalan
lancar dan meminimalisir penyimpangan ke depan baik karena kesengajaan ataupun kelalaian semata.
Pemerintah Kabupaten tentu bisa menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang
memiliki kompetensi dan integritas untuk memberikan pelatihan dan penguatan
kompetensi dan ketrampilan bagi
calon-calon tenaga pendamping desa itu nantinya.
Fasilitas untuk pendapatan
dan tunjangan operasional setiap bulan tentu perlu disediakan anggarannya oleh
pemkab yang bisa disalurkan melalui pos anggaran di Badan Pemdes, termasuk pula
fasilitas kerja yang diperlukan. Untuk merancang program kegiatan ini pemkab
perlu membuat aturan kebijakannya melalui penerbitan Peraturan Bupati tentang
Tenaga Pendampingan Desa sebagai dasar dan payung hukum untuk dimuat menjadi
program kegiatan di RKPD hingga mengalokasikan anggaran yang diperlukan tiap
tahun dalam APBD Tahun depan. Jika kemudian untuk tenaga pendamping desa
misalnya tahun berikutnya kelak (2016) diprogramkan oleh pemerintah pusat
melalui kementrian pedesaan selaku pengelolanya maka pemerintah kabupaten tidak
perlu kemudian menghapus program ini, namun cukup menyesuaikan setidaknya untuk
pelatihan ketrampilan bagi tenaga pendamping desa secara periodik masih tetap
dibutuhkan. Sebaliknya, pemerintah desa melalui kades dan perangkatnya perlu
menyikapi langkah ini secara proaktif pula sebagai peluang positif dalam upaya
meminimalisir dan meringankan beban resiko munculnya penyimpangan (problem
hukum) karena kekeliruan baik sengaja maupun karena kelalaian sebagai akibat
lemahnya supervisi dari pemerintah kabupaten, apalagi jika tanpa ada pendampingan
secara intensif hari ke hari.
Salah satu
kabupaten di Kalbar sebenarnya telah menjalankan Program Sarjana Pendamping
Desa (SPD) sejak tahun 2010 yang dikelola oleh SKPD Bappeda dan sampai saat ini
masih berjalan dan diikuti oleh para sarjana yang berasal dari berbagai
kecamatan, meskipun tidak semua desa ditempatkan. Ibarat gayung bersambut,
ternyata UU Desa dan PP nya sekarang mengatur itu, tinggal diteruskan saja
tentu dengan berbagai penyesuaian termasuk SKPD yang mengelola digeser ke Badan
Pemdes.
Terlepas dari
itu, upaya proaktif untuk menyusun program pendampingan desa dengan
memberdayakan putra putri terdidik (diutamakan namun bukan mutlak asal
kabupaten bersangkutan) yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi baik
D-3 dan S-1 (semua disiplin ilmu) tentu menjadi ruang aktualisasi positif dan
pembelajaran untuk mematangkan diri mereka dalam menghadapi, menganalisa, dan
mencari solusi terhadap berbagai problem masyarakat di desa-desa sehingga
kehadiran para sarjana tersebut sebagai generasi muda terdidik perlu diberi
peluang untuk turut terlibat mengawal agenda pembaharuan desa yang diharapkan membawa
kontribusi positif bagi perbaikan tata kelola desa-desa ke depan. Akhirnya, bagaimanapun
secara konstitusional (sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah)
pemerintah kabupaten sebagai pembina langsung yang memiliki peran (tanggung
jawab) terdepan untuk mengupayakan agar proses tata kelola pemerintahan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa-desa dapat berjalan lebih lancar dan optimal untuk mengejar sasaran
percepatan pengurangan kemiskinan di desa-desa. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar